Belajar Dari Lia Eden, Cara Bikin Keyakinan

Ketika saya menyebut tentang sistem keyakinan, anda jangan buru-buru berpikir, bahwa ,mata saya hanya tertuju pada agama/keyakinan anda. Walau pun secara otomatis bisa saja, menjadi salah satunya contohnya.

Antara golongan Theis dan Atheis, sebenarnya berada dilevel yang sama. Sama-sama meyakini sesuatu! Theis meyakini bahwa Tuhan itu ada, sementara Atheis meyakini bahwa Tuhan itu tidak ada.

Agama baru berupa aliran humanisme, seperti komunis, liberal, dan lain sebagainya juga berada dalam tataran sistem keyakinan. Kondisinya sama, keyakinan! Meyakini ide-ide, gagasan, buah kreatifitas pikiran.

Keyakinan adalah satu dari kondisi pikiran yang menjadi  sikap dalam kehidupan manusia. Keyakinan bagian dari cara berpikir manusia. Namun yang menjadi persoalan adalah, saat berada dalam kondisi yakin, manusia sering kali terjebak dalam sebuah kesimpulan bahwa sudah benar. Sesuatu yang telah mampu meyakinkannya, akan memberi efek sensasi rasa benar.

Bisa saja, hal-hal yang meyakinkan itu memang benar adanya, tapi bukan berarti sudah pasti benar. Artinya masih ada potensi bahwa itu bukan sebuah kebenaran. Keyakinan, sebenarnya, masih berada dalam ranah asumsi bukan kepastian.

Saat manusia meyakini sesuatu maka seringkali tidak bisa membedakan apakah yang diyakini sudah benar atau belum. Namun, anda boleh mencoba untuk melihat keluar diri anda. Melihat sebuah fenomen orang-orang yang meyakini sesuatu diluar keyakinan anda. Anda akan benar-benar bisa melihatnya. Bahkan mungkin anda akan melihat fenomena kegilaan akibat sebuah keyakinan.

Baca tulisan; “Sistem keyakinan mematikan nalar manusia

Mari kita sedikit menyibak fenomena sosok Lia Eden! Sebagian besar kita masyarakat Indonesia mengenal dia. Lia Eden dan pengikutnya meyakini sesuatu, sesuatu yang kemudian mereka simpulkan sebagai kebenaran.

Sementara orang-orang yang berada dalam agama tertentu, mungkin berpikir mereka adalah sekelompok orang gila. Atau setidaknya berasumsi mereka bodoh, kaum merugi, atau lainnya. Tapi lupa, sebenarnya sama. Sama-sama manusia. Manusia yang ingin dalam kehidupannya berada dijalan kebenaran, sama seperti do’a-doa manusia lainnya. Manusia yang ingin kehidupannya  berarti dan berakhir dalam sebuah keberuntungan. Sama seperti para pencari pencerahan lainnya. Manusia yang juga menginginkan hal-hal terbaik dalam kehidupannya.

Ada begitu banyak yang menuding, Lia Eden dan pengikutnya adalah sekelompok orang halusinasi yang berdelusi adanya firman, wahyu-wahyu, Tuhan, malaikat. Dimana secara psikologi bisa disebut sebagai kegilaan atau penyakit kejiwaan. Perlu direhabilitasi!

Ya, Lia Eden dan pengikutnya adalah sebuah fenomena kelompok kecil yang hidup dalam keyakinannya. Yang seperti ini sebenarnya ada banyak di dunia. Dalam kehidupan, tidak jauh berbeda dengan kelompok besar yang sekarang dikenal sebagai agama. Sama-sama berada dalam keyakinannya masing-masing.

Lia Eden, bisa saja sosok delusioner. Delusi adalah sebuah kondisi dimana manusia mempercayai halusinasinya sebagai sebuah kebenaran atau kenyataan. Orang-orang yang berhalusinasi dan tidak mendapat input informasi yang baik, cenderung akan mempercayai halusinasinya sebagai sebuah kebenaran.

Halusinasi adalah fenomena alamiah dalam kehidupan manusia. Walau pun potensinya kecil, namun setiap manusia dapat mengalami halusinasi. Tidak banyak, namun dari 100%, ada sekian persen manusia memiliki kecendrungan halusinasi.  Artinya, dari 100 orang, pasti ada satu, dua, tiga, atau lebih punya potensi halusinasi. Bisa jadi, salah satunya anda.

Saat berhalusinasi, Lia Eden, mengalami sebuah fenomena sensasi. Seperti seolah melihat, mendengar, dan merasakan sesuatu. Karena itu sebuah pengalaman yang terjadi dalam dirinya, jelas Lia Eden berpotensi mempercayainya. Bagi Lia Eden, itu adalah pengalaman spiritual.

Sebenarnya, kasusnya sama seperti orang-orang yang berhalusinasi melihat hantu. Maka secara otomatis cenderung akan percaya dengan keberadaan hantu. Mereka pasti berani bersumpah, telah melihat hantu. Mereka bersumpah atas pengalaman mereka sendiri.

Masih mending mereka yang berhalusinasi melihat hantu, lalu delusi. Sehingga percaya dengan keberadaan hantu. Mereka punya alasan untuk percaya hantu. Atau mereka yang tidak percaya hantu karena tidak pernah melihat hantu. Mereka juga punya alasan untuk tidak percaya. Nah ada begitu banyak yang percaya hantu walau pun belum pernah melihat hantu. Yang seperti ini banyak sekali..

Ya, orang-orang yang berhalusinasi dan tidak memahami cara kerja halusinasi, tentang kenapa dan bagaimananya terjadi, jelas berpikir itu adalah kebenaran.

Bagi Lia Eden, halusinasinya jelas sebuah kebenaran. Pengalaman yang dianggapnya sebagai kebenaran tersebut, dia sampaikan dengan sungguh-sungguh kepada setiap orang yang memungkinkan untuk mendengarnya. Kesungguhannya, kemudian mempengaruhi orang lain hingga meyakininya. Maka terciptalah sebuah aliran keyakinan baru. Inilah salah satu gambaran sistem keyakinan itu terbangun ditengah kehidupan sosial manusia.

Masalahnya, Lia Eden, berada di tempat dan waktu yang tidak mendukungnya. Ia berada ditengah peradaban manusia yang cenderung sudah memahami cara kerja halusinasi. Makanya, untuk dapat mempengaruhi orang dalam jumlah banyak, itu bukan pekerjaan mudah. Akan ada banyak orang yang mementahkan halusinasinya.

Coba, Lia Eden lahir dizaman kuno. Zaman dimana sebagian besar orangnya percaya tahyul. Atau hidup dizaman tahyul, sosoknya bisa jadi berpotensi sebagai orang besar.  Sebagai sosok yang dianggap memiliki kelebihan.

Dan sayangnya lagi, entitas yang muncul dalam halusinasi Lia Eden, berhubungan dengan sistem keyakinan lain yang telah mengakar kuat dan mendarah daging dalam kehidupan manusia. Ini salah satu batu sandungan yang membuatnya kurang bisa berkembang.

Untuk diketahui, entitas dalam halusinasi memang sangat dipengaruhi oleh latar belakang, keyakinan, tradisi, budaya, wawasan, imaginasi, dan fantasi seseorang. Jadi saat dalam dimensi pikiran manusia yang percaya adanya vampire, maka halusinasinya berpotensi muncul vampire. Dan masyarakat Indonesia yang dalam dimenasi pikirannya percaya pocong, kuntilanak, gundoruwo dan sebangsanya, saat berhalusinasi hantunya berpotensi muncul seperti itu.

Baca; Kenapa Hantu Indonesia Berbeda Dengan Hantu Luar Negeri

Lia Eden, dimensi pikirannya sebenarnya dibawah pengaruh sistem keyakinan yang telah berkembang lebih dahulu. Sehingga, saat berhalusinasi  yang muncul adalah entitas yang telah ada sebelumnya. Makanya, hal-hal yang ditemuinya ‘gado-gado’. Ada malaikat, Tuhan, Ratu Pantai Selatan, mungkin Alien dan sebagainya.

Jika saya berada di posisi Lia Eden, dan atau setidaknya menjadi salah satu asistennya dalam merekrut massa, saya akan melakukan/menyarankan agar gerakannya jangan dulu dipublish secara massal. Tapi memilih gerakan bawah tanah. Melakukan pendekatan secara tertutup.

Untuk memperkuat daya pengaruh, hal utama yang dilakukan adalah mencari orang-orang yang akan bersaksi tentang kebenaran halusinasi tersebut. Caranya, adalah mendekati dan mempengaruhi orang-orang tipe halusinasi juga. Dengan tehnik membentuk alur bawah sadar dan induksi terkondisi, lalu memunculkan entitas halusinasi yang sama.

Sehingga, akan banyak orang mengalami halunsinasi hal yang sama. Ini memungkinkan ada banyak suara atau kesaksian memperkuat pengaruh gerakan.

Ini bukan perkara sulit sebenarnya, apalagi di era tehnologi informasi. Komunitas-komunitas manusia tipe halusinasi ada begitu banyak eksis dimedia sosial. Yang penting adalah mekanisme pendekatan dengan sugesti yang tepat, mereka berpotensi direkut.

Tehnik induksi terkondisi, bisa baca e-book Neurolism; “Setiap kata menjadi mantra”

Di Neurolism sendiri, ada peserta kelas yang mengembangkan tehnik penciptaan entitas/mahluk imaginer secara sadar.  Hasilnya, sama seperti entitas dalam berbagai keilmuan tradisional seperti khodam, roh penjaga, guardian anggel, sedulur papat, higher self, guru sejati, sedulur papat, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini, saya tidak mengatakan kasus Lia Eden salah atau benar. Hanya memberi gambaran tentang bagaimana sistem keyakinan itu terbentuk dan berkembang. Cikal bakal berbagai aliran yang kemudian menjelma menjadi agama juga tidak jauh berbeda.

Perbedaannya, sistem keyakinan besar dengan memiliki pengikut yang banyak, terjadi sebelum manusia memahami ilmu psikologis dan hipnosis. Tumbuh diantara manusia-manusia yang percaya tahyul. Dimana mempecayai bahwa fenomena halusinasi sebagai sesuatu yang sakral dan dianggap kebenaran.

System keyakinan tersebut, mengakar dan mendarah daging dalam setiap sendi kehidupan sosial. Bahkan sejak bayi masih dalam kandungan.

Oh.. beda. Agama kami beda. Di agama kami lengkap! Aturan-aturan tentang kehidupan semuanya ada. Kami mempunyai tuntunan yang sangan kompleks termasuk kita suci. Kitab suci kami itu langsung dari Tuhan. Ayat-ayatnya, bersumber dari Tuhan. Sudah melingkupi awal hingga akhir zaman.

Ya, memang terlihatnya seperti itu. Karena situasi dan kondisi, memungkinkannya berkembang seperi itu.

Anda tahu, jika Lia Eden mendapat dukungan dan sambut masyarakat luas, dan bahkan menguasai setidaknya Indonesia saja, ia juga akan membuat sebuah kitab. Dan mungkin, pendekatakannya akan lebih baik lagi pada umat manusia di era saat ini. Mungkin cerita tentang alam semestanya akan lebih luas lagi. Tidak hanya sekedar tujuh lapis langit, jelas akan ada penjelasan yang lebih baik. Akan ada aturan-aturan yang lebih sesuai dengan peradaban saat ini.

Kenapa? Karena dimensi pikiran Lia Eden sudah dipengaruhi oleh peradaban manusia saat ini, sumber inpirasi halusinasinya jelas lebih kompleks lagi.

Sadari saja bahwa, peradaban baik dari segi budaya, tradisi, ilmu pengetahuan, wawasan, imaginasi dan fantasi, sangat mempengaruhi suatu aliran kepercayaan. Makanya, ada begitu banyak kesamaan antara sistem keyakinan. Seperti agama-agama samawi di wilayah timur tengah misalnya. Walau ada perbedaan, anda juga akan melihat ada banyak kesamaan baik dari segi ritual, maupun entitas yang menjadi bagian didalamnya.

Atau mungkin anda tidak tahu, bahwa, kitab  suci yang ada berbagai sistem keyakinan bukan turun begitu saja dari langit. Bukan dibuat dan sudah dicetak sedemikian rupa oleh masing-masing Tuhannya. Bukan produk instant atau siap saji yang tiba-tiba bisa langsung digunakan. Kejadian nya tidak begitu. Ada proses! Baik penulisan, penyususan, pengeditan, hingga di cetak menjadi kitab suci. Bahkan ada revisi atau perbaikan. Hingga akhirnya menjadi sebuah bacaan sempurna berisi tulisan-tulisan tanpa kesalahan penulisan.

Dibuat dan disusun oleh manusia dengan bahasa dan tulisan manusia. Diatas media kertas buatan manusia. Bukan dibuat/ditulis oleh Tuhan/Dewa atau para malaikat dan asistennya. Bukan dibuat dirumah produksi atas langit atau nirwana.

Jika anda ingin benar-benar mengetahuinya, anda dapat menelusurinya dari sumber-sumber kredibel. Jangan meneliti kitab suci anda sendiri, hasilnya tidak akan objektif. Tapi, anda telusuri sejarah kitab suci dari sistem keyakinan lain. Mata dan pikiran anda akan lebih cerah dan jernih untuk melihat kebenarannya. Dengan cara seperti ini, secara psikologis anda tidak hanya mencari informasi yang hanya anda sukai saja.

Nanti anda akan tahu bahwa kitab-kitab suci itu dibuat oleh manusia, dan isinya diakui bersumber dari Tuhan atau Dewa-nya. Anda juga akan tahu, isi kitab suci itu mengitu cara kerja pikiran manusia. Baik kehendak maupun aturannya. Cenderung sesuai dengan sistem kehidupan peradaban manusia dimana kitab suci itu dibuat. Itu juga alasannya, antara isi kitab suci dari agama Samawi (langit) banyak perbedaannya dengan agama Ardhi (bumi).

Oh, nabi dan rasul di aliran sistem keyakinan kami memiliki kelebihan dan mukzizat yang menunjukkan mereka utusan Tuhan. Ya, memang dalam cerita yang juga bersumber dari keyakinannya masing-masing menceritakan tentang itu. Masing-masing menceritakan kelebihannya masing-masing. Sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan kelebihan sosok-sosok lain dari berbagai cerita legenda.

Namun pertanyaannya, apakah anda kemudia akan percaya, semisal Lia Eden mampu melakukan sesuatu yang ajaib. Seperti memindahkan sebuah kapal laut dari suatu tempat ke tempat lain, menggunakan tehnik David Copperfield. Atau dia mampu menghidupkan orang yang sudah mati. Bukannya menerima, bisa-bisa malah akan banyak yang menudingnya bersekutu dengan setan. Atau menuduhnya menggunakan kekuatan iblis yang menyesatkan.

Anda akan menelan bulat-bulat cerita keajaiban, jika itu bersumber dari aliran keyakinan anda. Walau, mungkin bagi orang diluar keyakinan anda mengatakan bahwa itu sebagai kegilaan atau ketahyulan. Anda yang percaya dengan Tuhan tetap akan yakin dengan Tuhan anda, kendati mendengar cerita tentang keajaiban Dewa yang bahkan digambarkan bisa menciptakan sesuatu yang melebihi kemampuan Tuhan anda.

Tulisan ini bukan tentang salah dan benar, ini soal fenomena dimensi pikiran manusia. Tentang bagaimana manusia hidup dalam sistem keyakinan. Hidup dalam nilai-nilai kebenaran subjektif dari keyakinannya. Merasa benar dalam dimensi pikirannya. Belajar kebenaran dari pikirannya sendiri. Pikiran yang dipengaruhi oleh keyakinannya. Keyakinan yang didapat dari sesuatu yang meyakinkan.

Anda tahu saat pikiran yakin? Saat dalam kondisi yakin, maka yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah. Jika anda yakin bahwa Tuhan itu adalah alien, anda tidak akan percaya jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu Dewa. Begitu cara kerjanya.

Lia Eden yakin dengan pengalamannya, yakin dengan apa yang diketahuinya sebagai kebenaran. Jadi ketika anda mengatakannya gila, sebenarnya sama saja anda mengatakan diri anda sendiri. Bukankah anda juga tenggelam dalam sebuah keyakinan, hanya saja berada dalam keyakinan yang berbeda.

Dalam kasus Lia Eden, ia mendapat keyakinan dari pengalamanya sendiri. Dari halusinasinya! Anda mungkin juga percaya dengan pengalaman anda sendiri dan atau meyakini pengalaman orang lain. Yang bisa saja didapat dari halusinasi, ide, gagasan, imaginasi, fantasi, atau kreatifitas pikirannya.

Tapi memang tidak mudah untuk mengubah bahwa sebuah kondisi. Keyakinan itu sebuah kondisi, kondisi dimana merasa telah menemukan kebenaran. Sebuah kondisi dimana merasa telah benar. Sama seperti Lia Eden yang telah merasa menemukan sebuah kebenaran. Sebuah sensasi rasa, seperti bagaimana anda merasakan keyakinan anda saat ini.

Ya, setiap keyakinan pasti ada argumentasinya. Sama seperti kaum Atheis yang menyakini bahwa Tuhan itu tidak ada. Dalam dimensi pikirannya, mereka benar-benar merasakan sebuah kondisi dimana rasa bahwa apa yang dipikirkannya sebuah benar. Kecerdasan pikirannya, akan mencari dan menemukan bukti, bahwa Tuhan itu tidak ada. Akan ada serangkaian argumen untuk memperkuat keyakinannya. Jika anda dari kaum Theis, dimana mempercayai bahwa alam semesta beserta isinya ini adalah ciptaan Tuhan anda, jelas akan melihat bahwa Kaum Atheis bodoh dan tergolong sebagai kaum merugi.  Tapi ketahuilah, dimata kaum Atheis, justru andalah golongan manusia bodoh dan dungu, dimana menyembah dan menganggung-agungkan sesuatu yang tidak ada.

Dan ketahuilah, setiap aliran keyakinan/agama dalam merekrut pengikutnya, iklannya pasti sama, akan membawa manusia pada jalan kebenaran. Kecerahan dan keberuntungan. Itu adalah janji yang sekaligus menjawab harapan secara psikologis manusia. Siapa yang tidak mau semua janji itu.

Siapa yang sanggup menolak tawaran cinta kasih, keberuntungan, kebenaran, dan kebaikan. Walau pun dalam pelaksanaannya, ketika kepentingan dari aliran keyakinan itu terganggu eksistensinya, manusia akan menjelma menjadi monster tanpa belas kasihan. Catatan sejarah tentang itu sering terjadi dan sepertinya terus terulang lagi.

Ada begitu banyak kematian konyol akibat keyakinan. Dalam perang-perang agama, antar aliran, dan lainnya. Tidak terhitung dan diketahui secara pasti. Yang jelas sangat banyak! Oh… maaf ketika saya mengatakan konyol, karena saya melihat dari sistem keyakinan saya. Mungkin ketika yang mati tersebut dari golongan keyakinan anda, maka disebut pahlawan. Dan jika diluar keyakinan anda, maka disebut musuh. Mati di jalan kebenaran, jika dari sistem keyakinan anda dan mati dalam kesalahan jika diluar sistem keyakinan anda.

Agar kita sama-sama tidak kena, mari kita lihat sebuah sistem keyakinan kuno. Kita bicarakan yang kuno saja. Tentang peradaban masa lalu, semoga mereka bukan nenek moyang kita sendiri, hehehe. Tentang ritual pengorbanan nyawa manusia untuk menyenangkan para dewa atau Tuhan-nya. Dalam banyak artikel, disebutkan bahwa, bukan hanya para kepala suku yang merasa benar dalam ritual yang  mungkin dianggap biadab oleh manusia saat ini, mereka yang dikorbankan pun, dikatakan, merasakan benar. Merasa telah menunaikan sebuah kewajiban maha suci. Sebuah kehendak dari sang maha tinggi. Mungkin, sekali lagi mungkin, saat ini kita sepakat bahwa itu sebuah kematian konyol.  Karena mati di jalan kebenaran itu adalah melalui sistem keyakinan kita…

3 pemikiran pada “Belajar Dari Lia Eden, Cara Bikin Keyakinan”

  1. Selama system keyakinan seseorang bisa menjadi NYATA bagi dirinya, ada baiknya dibiarkan saja.
    yang penting tidak mengganggu system keyakinan orang lain.
    dan selamat mencipatakan system keyakinan masing masing.
    hahaha

    Balas
    • Sistem keyakinan itu sebuah konsep dalam memanfaatkan potensi pikiran. Bisa kearah lebih baik, bisa pula kearah lebih buruk. Selagi anda mempunyai pikiran anda berpotensi tenggelam dalam sistem keyakinan. Anda bisa tetap hidup dan merasa bahagia kendati dalam pengaruh sistem keyakinan. Banyak jalan spiritual juga memanfaatkan potensi ini untuk membangkit manusia..

      Artikel lengkapnya, anda bisa baca disini; https://neurolism.web.id/tak-perlu-lepas-dari-sistem-keyakinan/

      Balas
  2. He he ..saya jadi tertawa terpingkal pangkal setelah menelaah artikel anda.embayangkan sistem kepercayaan yang selama ini saya anut, ternyata sudah terjelaskan pada tulisan di atas.

    Balas

Tinggalkan komentar