Feromon – Rahasia Minyak Pelet Kuno Itu Ilmiah

Ada begitu banyak kebijaksanaan kuno yang mengandung rahasia. Ada kesan misterius bahkan seolah mengandung kekuatan magis. Salah satunya tentang Rahasia Minyak Pelet. Feromon!..

Ya, ketika berbicara tentang minyak pelet, publik telah memberi stigma magis yang menjurus pada praktik klenik. Bahkan, tanpa ampun menuding bahwa minyak pelet berkaitan dengan kekuatan roh-roh jahat atau sejenisnya.

Tidak ada pembahasan lebih lanjut, penghakiman sepihak tersebut terus berlanjut hingga berabad-abad lamanya. Apalagi, para praktisi (dukun) atau produsen dari minyak pelet tersebut ikut menguatkan! Dimana merahasiakan cara kerja dari minyak pelet itu sendiri.

Ya, bahan dasar dari minyak pelet tersebut memang disimpan erat. Bahkan cenderung dikemas dalam unsur mistis yang berbau mitos. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi alasan; Pertama, sang produsen (dukun) tidak mau karya nya di jiplak. Karena bahan dasarnya memang tersedia di sekeliling anda. Kedua, publik memang cenderung suka dengan sesuatu yang berbau misteri. Jadi saat cara kerja dari minyak pelet yang dirahasiakan akan memberi nilai lebih. Ketiga, produsen masih berada di tataran syariat. Artinya, mendapat racikan secara turun-temurun namun tidak dijelaskan cara kerjanya. Sehingga, tidak mampu memberi penjelasan secara ilmiah. Keempat, sistem tray error tanpa memahami kandungan unsur dari materi minyak pelet itu sendiri. Jadi secara kebetulan ditemukan bahwa bahan dasar tersebut berguna untuk minyak pelet. Namun tidak diketahui kenapa hal itu bisa terjadi.

Orait beibeh.. Minyak pelet memang memiliki daya magnetis nya sendiri. Misteri dengan unsur magis juga menjadi sesuatu yang membuat nya memiliki tempat dipikiran publik. Tapi, saat ini kita akan kupas tuntas rahasia minyak pelet itu!!…

Bahan Dasar Minyak Pelet

 

Saat anda tertarik dengan seseorang, khususnya lawan jenis; ada dorongan kuat dari bawah sadar untuk mencium. Tidak hanya pada manusia, hewan juga memiliki kencendrungan sama. Oya, bayi-bayi juga memiliki kekuatan yang mendorong/mengundang anda untuk menciumnya.

Ada semacam zat kimiawi baik dalam bentuk aroma maupun tidak tercium yang masuk melalui indera penciuman. Dan itu, mampu memberi stimulasi ke sistem syaraf dalam otak. Beberapa memunculkan efek eforia, nyaman, sehingga memunculkan sensasi tersendiri. Salah satu nya daya tarik.

Kita langsung saja, rahasia aroma yang memunculkan dorongan kuat untuk tertarik dan merasa nyaman itu disebut Feromon! Khususnya yang berhubungan dengan seksualitas.

Sejarah Feromon

parfum peromon

Feromon, berasal dari bahasa Yunani ‘phero’ yang artinya ‘pembawa’ dan ‘mone’ ‘sensasi’. Feromon merupakan sejenis zat kimia yang berfungsi untuk merangsang dan memiliki daya pikat seks pada hewan jantan maupun betina. Zat ini berasal dari kelenjar eksokrin dan digunakan oleh makhluk hidup untuk mengenali sesama jenis, individu lain, kelompok, dan untuk membantu proses reproduksi.

Berbeda dengan hormon, feromon menyebar ke luar tubuh dan hanya dapat mempengaruhi dan dikenali oleh individu lain yang sejenis (satu spesies).

Ketika pertama kali ditemukan pada serangga, feromon banyak dikaitkan dengan fungsi reproduksi serangga. Penemu zat feromon pertama kalinya pada hewan (serangga) adalah Jean-Henri Fabre, ketika pada satu musim semi tahun 1870 an pengamatannya pada ngengat ‘Great peacock’ betina keluar dari kepompongnya dan diletakkan di kandang kawat di meja studinya untuk beberapa lama menemukan bahwa pada pada malam harinya lusinan ngengat jantan berkumpul merubung kandang kawat di meja studinya. Fabre menghabiskan tahun-tahun berikutnya mempelajari bagaimana ngengat-ngengat jantan ‘menemukan’ betina-betinanya. Fabre sampai pada kesimpulan jika ngengat betina menghasilkan ‘zat kimia’ tertentu yang baunya menarik ngengat-ngengat jantan.

Feromon pada organisme berbeda;

 

  • Pada Kupu-kupu

Ketika kupu-kupu jantan atau betina mengepakkan sayapnya, saat itulah feromon tersebar diudara dan mengundang lawan jenisnya untuk mendekat secara seksual. Feromon seks memiliki sifat yang spesifik untuk aktivitas biologis dimana jantan atau betina dari spesies yang lain tidak akan merespons terhadap feromon yang dikeluarkan betina atau jantan dari spesies yang berbeda.

  • Feromon Pada Rayap

Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada di depan mengeluarkanferomon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi feromon ini sangat erat hubungannya dengan bau makanannya sehingga rayap mampu mendeteksi obyek makanannya.

  • Feromon Dasar Rayap: Pengatur Perkembangan

Pengaturan koloni berada di bawah kendali feromon dasar (primer pheromones). Misalnya, terhambatnya pertumbuhan/ pembentukan neoten disebabkan oleh adanya semacam feromon dasar yang dikeluarkan oleh ratu, yang berfungsi menghambat diferensiasi kelamin. Segera setelah ratu mati, feromon ini hilang sehingga terbentuk neoten-neoten pengganti ratu. Tetapi kemudian neoten yang telah terbentuk kembali mengeluarkan feromon yang sama sehingga pembentukan neoten yang lebih banyak dapat dihambat. Feromon dasar juga berperan dalam diferensiasi pembentukan kasta pekerja dan kasta prajurit, yang dikeluarkan oleh kasta reproduktif.

Dilihat dari biologinya, koloni rayap sendiri oleh beberapa pakar dianggap sebagai supra-organisma, yaitu koloni itu sendiri dianggap sebagai makhluk hidup, sedangkan individu-individu rayap dalam koloni hanya merupakan bagian-bagian dari anggota badan supra-organisma itu. Perbandingan banyaknya neoten, prajurit dan pekerja dalan satu koloni biasanya tidak tetap. Koloni yang sedang bertumbuh subur memiliki pekerja yang sangat banyak dengan jumlah prajurit yang tidak banyak (kurang lebih 2 – 4 persen). Koloni yang mengalami banyak gangguan, misalnya karena terdapat banyak semut di sekitarnya akan membentuk lebih banyak prajurit (7 – 10 persen), karena diperlukan untuk mempertahankan sarang.

  • Feromon Pada Ngengat

Feromon bertindak sebagai alat pemikat seksual antara betina dan jantan. Jenis feromon yang sering dianalisis adalah yang digunakan ngengat sebagai zat untuk melakukan perkawinanNgengat gipsi betina dapat mempengaruhi ngengat jantan beberapa kilometer jauhnya dengan memproduksi feromon yang disebut “disparlur“. Karena ngengat jantan mampu mengindra beberapa ratus molekul dari betina yang mengeluarkan isyarat dalam hanya satu mililiter udara, disparlur tersebut efektif saat disebarkan di wilayah yang sangat besar sekalipun.

  • Feromon Pada Semut dan Lebah Madu

Feromon memainkan peran penting dalam komunikasi serangga. Semut menggunakan feromon sebagai penjejak untuk menunjukkan jalan menuju sumber makanan. Bila lebah madu menyengat, ia tak hanya meninggalkan sengat pada kulit korbannya, tetapi juga meninggalkan zat kimia yang memanggil lebah madu lain untuk menyerang. semut pekerja dari berbagai spesies mensekresi feromon sebagai zat tanda bahaya, yang digunakan ketika terancam musuh; feromon disebar di udara dan mengumpulkan pekerja lain. Bila semut-semut ini bertemu musuh, mereka juga memproduksi feromon sehingga isyaratnya bertambah atau berkurang, bergantung pada sifat bahayanya.

  • Kecoak

Kecoak betina menarik lawan jenisnya dengan cara mengeluarkan periplanon-B.

  • Hamster, Gajah dan Ngengat

Hamster betina, menggunakan dimetil disulfida untuk menarik hamster jantan mendekat. gajah danngengat mempunyai feromon seks yang sama, yakni Z-7-dodesen-1-il-asetat. Namun walaupun sama, gajah dan ngengat tidak akan saling tertarik karena Z-7-dodesen-1-il-asetat yang dihasilkan ngengat terlalu sedikit untuk di’rasa’kan gajah, begitu juga sebaliknya.

  • Ikan

Feromon seks pada ikan, akan menarik ikan jantan dari betina yang akan bertelur.  Pejantan yang paling sensitif akan datang terlebih dahulu.

  • Anggrek

Pada beberapa jenis anggrek, diproduksi feromon yang menyerupai feromon yang disekresi kumbang betina, untuk menarik kumbang jantan untuk membantu proses penyerbukan.

  • Feromon Pada Manusia

Feromon pada manusia merupakan sinyal kimia yang berada di udara yang tidak bisa dideteksi melaluibau-bauan tapi hanya bisa dirasakan oleh VMO di dalam hidung/indra pencium.  Organ vomeronasal (VNO) atau disebut juga organ Jacobson adalah organ pembantu dalam sistem penciuman. Pada manusia dewasa, lokasinya berada pada antara mulut dan hidung. Sinyal ini dihasilkan oleh jaringankulit khusus yang terkonsentrasi di dalam lengan. Sinyal feromon ini diterima oleh VMO dan dijangkau oleh bagian otak bernama hipotalamus. Di sinilah terjadi perubahan hormon yang menghasilkan respons perilaku dan fisiologis.

Manfaat dan fungsi Feromon

Berdasarkan fungsinya ada dua kelompok feromon yaitu:

  1. Feromon “releaser”, yang memberikan pengaruh langsung terhadap sistem syaraf pusat individu penerima untuk menghasilkan respon tingkah laku dengan segera. Feromon ini terdiri atas tiga jenis, yaitu feromon seks, feromon jejak, dan feromon alarm.
  2. Feromon primer, yang berpengaruh terhadap system syaraf endokrin dan reproduksi individu penerima sehingga menyebabkan perubahan-perubahan fisiologis (Nurnasari, 2009).

Menurut Sutrisno (2008), feromon dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya

  • Feromon jejak

Merupakan feromon yang digunakan untuk menunjukan arah kelompok/koloni suatu serangga. Contohnya pada semut,pada semut ini digunakan feromon sebagai penunjuk jejak.

  • Feromon alarm

Merupakan feromon yang dipergunakan untuk memperingatkan serangga terhadap bahaya yang datang, apakah itu predator atau bahaya lainnya. Tanggapannya dapat berupa membubarkan diri atau membentuk pertahanan koloni. Beberapa anggota familia Hemiptera dan serangga sosial menggunakan feromon ini untuk menghadapi bahaya. Bahan feromon ini pada afid misalnya, dikeluarkan melalui kornikulanya, yang mengandung bahan feromon alarm umumnya farnesen, dan menyebabkan afid yang berada di sekitarnya menjatuhkan diri, menjauh atau meloncat pergi.

Wilson dan Bosert, ahli serangga sosial terutama semut, menduga bahwa bahan feromon alarm harus menghasilkan penanda yang bersifat lokal, jelas dan pendek/singkat. Feromon harus menyebar dengan cepat untuk dapat mengkoordinir terbentuknya pertahanan koloni dan harus segera lenyap agar tidak memunculkan tanda bahaya yang keliru. Agar dapat dilacak dengan mudah, ruang aktifnya harus sempit. Pada semut misalnya, feromon ini bahan utamanya adalah senyawa 4-metil-3-heptanon dan dikeluarkan melalui kelenjar mandibula. Jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan, isi kelenjar mandibulanya akan menyebar mencapai radius ruang aktif sekitar 6 cm dalam 13 detik, dan jika dibiarkan meluas, dalam 35 detik ruang aktif ini akan hilang. Semut pekerja lain yang mendeteksi feromon ini oleh karenanya akan menambahkan feromonnya sendiri sehingga keberadaan ruang aktifnya dapat bertahan lebih lama. Feromon alarm bersifat sangat volatil, dan kebanyakan memiliki berat molekul rendah, dengan rantai karbon 12 atau kurang. Senyawa dari kelenjar mandibula umumnya mengandung gugus keton atau aldehid, sedang yang berasal dari kelenjar Dufour (di dekat sengat) berupa hidrokarbon. Banyak di antaranya yang toksik dan rasanya tak enak, sehingga sekaligus juga berfungsi sebagai senyawa pertahanan diri.

Peneliti dari Inggris (Bradshaw, Baker dan Howse) menunjukkan bahwa sedikitnya terdapat 33 jenis senyawa volatil jika kepala seekor semut pekerja dihancurkan. Dari jumlah itu ada empat jenis senyawa yang merupakan feromon alarm, dan masing memiliki volatilitas yang berbeda, mulai dari heksanal (yang sangat volatil) sampai 2-butil-2-oktenal (yang kurang volatil). Mekanisme kerjanya dapat digambarkan dengan suatu lingkaran konsentris, yang pada bagian tengahnya merupakan tempat melepas feromon. Dalam kondisi tak ada angin, bahan volatil feromon akan berdifusi ke segala arah dengan kecepatan yang berbeda karena volatilitasnya berbeda. Dalam waktu singkat heksenal akan menempati ruang aktif terbesar, atau lingkaran konsentris terluar. Bila ada serangga memasuki wilayah ini, muncul perilaku khas karena memperoleh “peringatan”. Begitu serangga menuju ke lingkaran berikutnya (heksanol), serangga pekerja akan terpikat ke arah sumber feromon. Pada wilayah terdalam, terdapat 2-butil-2-oktenal sebagai penanda perilaku menggigit, dan 3-undekanon sebagai penunjuk orientasi arah jarak pendek. Setelah bahan feromon menguap, maka pengaruh heksanal dan heksanol tidak ada lagi, tetapi pekerja yang sufdah berada di tengah akan menunjukkan perilaku agresif, menggigit. Jadi feromon alarm sebenarnya akan mengawali munculnya serangkaian perilaku yang polanya sudah tertentu.

  • Feromon agregasi

Feromon agregasi adalah feromon yang diperlukan untuk mengumpulkan anggota koloni atau pun individu dan mempengaruhi perilakunya sebagai suatu individu. Kegunaan feromon ini berkisar dari penunjang perilaku makan, mating, berlindung, oviposisi, sampai ke perilaku yang belum terdeteksi secara jelas. Ada yang berhubungan dengan musim (hibernasi), berhubungan dengan amplitudo harian (agregasi istirahat), berhubungan dengan stadia pertumbuhan (larva yang bersifat gregarius) dan perilaku mengumpul lainnya. Setelah sumberdaya yang sementara atau terbatas habis, maka agregasi akan terhenti dengan sendirinya.

Feromon agregasi tersebar penggunaannya pada berbagai ordo seperti misalnya Orthoptera, Homoptera, Hemiptera, Coleoptera dan Hymenoptera. Familia yang paling banyak dipelajari adalah Scolytidae, Coleoptera; terutama pada kumbang kulit kayu; seperti genus Dendrocnotus dan Ips. Yang menarik, hampir semua feromon agregasi kumbang kulit kayu adalah monoterpen yang secara rumus bangun mirip dengan jenis yang dihasilkan oleh pohon inangnya. Reaksi agregasi merupakan tanggapan terhadap campuran molekul serupa yang saling menunjang efektivitas masing-masing. Komponen molekul serupa semacam itu membentuk suatu kerja kimia yang disebut sinergistik. Masing-masing senyawa sinergis mungkin cukup efektif sebagai molekul tunggal, tetapi lebih efektif jika bahan tersebut bercampur, jauh lebih efektif dibanding sekadar jumlah total efektivitas masing-masing.

  • Feromon penanda wilayah dan penunjuk jalan.
  • Feromon seks

Proses Sintesis Feromon Pada Organisme Awalnya

Kebanyakan komponen feromon ngengat merupakan rantai kabon bernomor C 10-C18 berantai lurus, tak jenuh dan turunan dari asam lemak, dengan karbon karbonil dimodifikasi untuk membentuk kelompok fungsional yang mengandung-oksigen (alkohol, aldehida, atau ester asetat). Asam lemak jenuh diprodukside novo dan dikonversi menjadi asil-KoA tioester mereka sebelum dimasukkan ke glycerolipids atau diubah ke feromon. Feromon produksi di PG dirangsang oleh Feromon Biosintesis Mengaktifkan neuropeptide (PBAN) yang dilepaskan dari ganglion suboesophagal di otak ke hemolymph, setelah itu mengikat ke reseptor PBAN dalam membran kelenjar karboksilase Asetil-CoA (ACCase).  Enzim ini mengkatalisis carboxylation ATP-tergantung dari asetil-KoA untuk malonyl-KoA pada langkah membatasi laju biosintesis asam lemak rantai panjang.

Malonyl-CoA, asetil-KoA, dan NADPH digunakan dalam sintesis asam lemak oleh enzim multifungsi Fatty Acid Synthase (FAS)lemak KoA prekursor feromon dapat dikurangi dengan alkohol yang sesuai oleh dehidrogenase yaitu menghasilkan alkohol-Fatty Asil Reduktase (FAR) dan kemudian dioksidasi menjadi aldehid yang sesuai oleh alkohol oksidase. Atau, asil lemak KoA dapat dikurangi secara langsung ke aldehida oleh Fars aldehida. Apakah reductases aldehida pertama menghasilkan aldehida yang kemudian diubah menjadi alkohol, atau sebaliknya, sangat sulit untuk membuktikan, karena reductases aldehid juga dapat mengkatalisis reduksi dari aldehid lemak terhadap alkohol, sehingga alkohol dan tidak aldehida adalah produk utama . Reaksi terbalik dikatalisis melalui oksidase alkohol, dan kedua enzim lebih umum digambarkan sebagai dehydrogenases alkohol.  Nama sistematis dari kelompok enzim adalah alkohol: NADP + oksidoreduktase, oksidasi alkohol menggunakan NAPD + (alkohol + NADP (+) <=> aldehida + NADPH).  Beberapa enzim di grup ini hanya mengoksidasi alkohol primer, sementara yang lain bertindak juga pada alkohol sekunder

Sintesis fosfolipid dapat terjadi de novo atau melalui renovasi dari fosfolipid yang ada, dan biosintesis trigliserida (suatu bentuk penyimpanan energi di dalam sel) adalah produk akhir dari jalur tersebut .  Dalam anggota hewan dari asil-sn-glisero-3-fosfat acyltransferase telah ditunjukkan untuk mentransfer lemak tak jenuh gugus asil.  Beberapa AGPATs mengasilasi asam lysophosphatidic (LPA) pada posisi-2 karbon untuk menghasilkan asam phosphatidic (PA).  Enzim yang terlibat dalam sintesis fosfolipid dan trigliserida melalui proses evolusi yang melibatkan dilestarikan asilasi seri dari gliserol-3-fosfat (+ Asil-CoA 1-asil-sn-gliserol 3-fosfat <=> CoA + sn 1,2-diacyl- -gliserol 3phosphat.Esterases adalah hidrolisis, dan hidrolisis ester terjadi selama sintesis feromon dan degradasi.

Mekanisme Kerja Feromon Pada Serangga

Pada dasarnya, semua organisme termasuk di luar insecta, dihasilkan oleh kelenjar eksokrin. Kelenjar eksokrin  adalah  kelenjar yang mempunyai saluran untuk mengeluarkan produknya atau bermuara pada permukaan apikal. Kelenjar eksokrin bisa dikategorikan lagi dalam 3 jenis:

•        Kelenjar apokrin :  bagian dari sel sekresi hilang ketika sekresi berlangsung.
•        Kelenjar holokrin : seluruh sel hancur ketika sekresi berlangsung.
•        Kelenjar merokrin :  sekresi dilakukan dengan eksositosis

 

Kelenjar eksokrin juga dapat dikategorikan menjadi:

•        Kelenjar serosa :  produknya bersifat encer dan seringkali kaya protein.
•        Kelenjar mukosa ;  produknya bersifat kental dan seringkali kaya karbohidrat.
•        Kelenjar minyak :  produknya berupa lemak

 

Mekanisme Feromon

Setelah kelenjar esokrin memproduksi feromon, feromon akan diteruskan ke abdomen insecta. Abdomen adalah istilah yang digunakan untuk menyebut bagian dari tubuh yang berada di antara thorax atau dada dan pelvis di hewan mamalia dan vertebrata lainnya.

Dari abdomen, feromon akan dikeluarkan dan akan ditangkap berupa sinyal di antena insekta tertentu. Dari sinyal tersebut akan diterjemahkan oleh metabolisme insekta tersebut menjadi sebuah rangsangan. Rangsangan tersebut dikatakan berhasil saat mencapai konsentrasi tertentu.

Penjelasannya adalah sebagai berikut.

  • Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai “ruang aktif” atau “active space”.
  • Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.
  • Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku “courtship” atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja.
  • Kelenjar feromon betina mengandung kurang lebih 164 mg feromon sex, yang secara teoritis mengandung cukup molekul untuk memikat 1011 ekor jantan apabila masing-masing jantan dapat menanggapi jumlah ambang dosis terendah. Jantan yang tertarik oleh feromon akan bergerak menuju sumber feromon berdasar dua gerakan dasar, yakni anemotaksis dan khemotaksis.
  • Orientasi yang pertama (anemotaksis )

berdasar pada arah angin yang membawa feromon. Meskipun terletak di “atas” angin, ngengat jantan akan berusaha mendatangi sumber feromon dengan gerakan zig-zag atau berpilin-pilin, yang disebut “Schwink effect”, dan berlaku baik pada ngengat tanpa sayap maupun ngengat yang terbang bebas.

  • Orientasi yang kedua (khemotaksis )

berdasar pada konsentrasi bahan feromon yang dilepaskan, yang semakin besar ke arah tempat betina hinggap. Orientasi kimia ini lebih bersifat jangkauan pendek (“short-range”).

Aplikasi Feromon Untuk Kebutuhan Manusia

Aplikasi di bidang biokimia, misalnya dalam pembuatan feromon sebagai pestisida. Jika feromon in dilepas ke udara dalam jumlah besar sehingga melampaui batas deteksi indera penciuman serangga jantan, maka perkawinan akan terhambat. Sehingga, populasi serangga yang biasanya menjadi hama bisa diturunkan. Karena merupakan zat alami, feromon tidak merusak lingkungan, sehingga secara teori cara seperti ini jauh lebih aman daripada menggunakan racun seperti DDT.

Masalahnya, struktur feromon seringkali sangat rumit dan sulit disintesis, namun kini bisa banyak terbantu oleh reaksi metatesis. Produksi feromon sebagai pembasmi hama melalui reaksi metatesis sudah dilakukan misalnya pada nyamuk Culex. Nyamuk betina dari spesies ini biasanya melepas suatu feromon ketika mereka bertelur, untuk menarik nyamuk betina lainnya agar bertelur di tempat yang sama. Feromon ini, (5R,6S)-6-asetoksi-5-heksadekanolida, sudah berhasil diproduksi secara massal dan diharapkan bisa digunakan untuk menjebak nyamuk betina Culexke dalam suatu perangkap. Diharapkan, langkah ini bisa mencegah penyebaran penyakit West Nile Virusyang dibawa oleh nyamuk spesies ini.

Feromon terdiri atas asam-asam lemak tak jenuh. Senyawa kimia dengan berat molekul rendah seperti ester, alkohol, aldehida, ketone, epoxida, lactone, hidrokarbon, terpen dan sesquiterpene adalah komponen umum dalam feromon (Roelofs, 1978, Nation, 2002).

Sintesa feromon dapat terjadi sepanjang kehidupan imago serangga, tetapi pengeluarannya hanya terjadi pada saat-saat tertentu sesuai kondisi lingkungan dan fisiologi serangga (Klowden, 2002). Produksi feromon oleh sejumlah serangga berada di bawah pengendalian hormon (Holman et al., 1990). Hormon polipeptida yang mengendalikan biosintesis feromon sex pada serangga ngengat disebut PBAN (Pheromone Biosynthesis Activating Neuropeptide) (Raina dan Klun, 1984). PBAN pertama kali diisolasi dari subesophageal ganglion dari hamaHelicoverpa (yang dahulu dikenal dengan Heliothis)zea (Raina et al., 1989) dan telah diberi nama yaitu Hez-PBAN. Juvenile hormon (JH) juga berperan dalam produksi feromon pada sejumlah spesies (Nation, 2002).

Feromon dikeluarkan melalui abdomen pada segmen ke 4 dan 5 pada serangga yang disekresikan oleh kelenjar eksokrin. Struktur senyawa feromon yaitu alkohol dan aldehid. Struktur senyawa yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga reseptor yang dipunyai spesifik pula. Setelah sampai di antena serangga target, senyawa feromon tersebut akan dicapai ke otak melalui sel saraf dan barulah diterima oleh sel penerima.

Kebanyakan molekul feromon berasal dari senyawa biokhemis biasa seperti asam lemak atau asam amino. Isyarat feromon menempati ruang tertentu dan tinggal sampai beberapa saat lamanya. Apabila suatu feromon menguap keluar dari sumbernya, maka konsentrasinya akan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya waktu. Seandainya tidak ada faktor lain seperti angin dan sebagainya, maka konsentrasi ini akan membentuk suatu ruang berisi konsentrasi feromon, dengan konsentrasi tertinggi pada sumber emisi dan makin menurun ke segala arah (Winoto, 2009).

Agar dapat menimbulkan rangsang, harus ada serangga lain yang menangkap isyarat ini. Kebanyakan tanggapan atas rangsang ini seragam, yakni apabila konsentrasi feromon telah melebihi kadar konsentrasi tertentu. Semakin dekat konsentrasi semakin tinggi, demikian pula semakin menjauh dari sumber emisi konsentrasi semakin rendah dan tidak mampu menimbulkan rangsang. Dengan demikian terbentuk semacam ruang tempat serangga lain menangkap isyarat atau rangsang kimiawi untuk kemudian bereaksi menanggapi rangsang tersebut. Ruang semacam ini oleh Wilson dan Bossert disebut sebagai “ruang aktif” atau “active space”(Winoto, 2009).

Jika feromon dilepas dalam jangka waktu cukup lama, maka ruang aktif akan menjadi cukup besar. Ruang aktif yang lebih besar diperlukan bila penerima memiliki alat deteksi isyarat yang tak terlampau peka dibanding bila penerima memiliki alat yang peka. Dengan mengubah-ubah laju emisi, kepekaan penerima dan jenis isyarat yang dikeluarkan, maka serangga dapat mencapai tujuan komunikasi kimiawi berhubungan dengan perilaku tertentu.

Ada feromon yang mampu menarik serangga jenis kelamin lain pada jarak yang cukup jauh, ada pula yang bekerja pada jarak dekat dan penerima menanggapinya dengan serangkaian perilaku “courtship” atau mencari pasangan. Feromon seperti ini tidak diproduksi terus menerus, tetapi hanya ketika serangga telah mencapai usia cukup dewasa untuk kawin, dan bahkan itu pun pada saat tertentu saja. Telah cukup banyak jenis feromon seks yang dipelajari para peneliti, terutama karena mengubah perilaku kawin merupakan strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka pengelolaan hama. Penelitian seperti ini pada mulanya berangkat dari usaha menemukan dan menjelaskan molekul feromonnya secara deskriptif, dan ketika jenis dan jumlah molekul yang diperoleh semakin banyak, penelitiannya bergeser ke arah analisis rinci dan kejelasan mekanisme kerja feromon (Winoto, 2009).

Pada mulanya diduga bahwa masing-masing spesies memiliki kekhasan molekul feromon seks yang dipergunakan untuk memikat lawan jenisnya. Molekul ini diduga khas, unik dan menimbulkan rangsang bagi lawan jenis dalam spesies yang sama, tidak pada serangga lain. Pada kenyataannya yang terdapat di alam ternyata jauh lebih menarik dan lebih kompleks dari dugaan tersebut. Kebanyakan feromon merupakan campuran kompleks dari beberapa senyawa penimbul bau, dan campuran aroma demikian memiliki perbedaan arti yang dapat cukup luas hanya karena sedikit perbedaan kadar campurannya. Karena jenisnya yang menjadi beratus-ratus (atau bahkan beribu-ribu) oleh bentukan campuran senyawanya, maka di sini hanya akan diketengahkan contoh feromon seks pada ulat sutera dan kupu-kupu ratu saja (Winoto, 2009).

Industri Feromon

Usaha koleksi bahan feromon baru berhasil dengan baik pada tahun 1959, ketika Butenandt menemukan bombikol, bahan feromon seks pada ngengat sutera (Bombyx mori). Pada saat itu dibutuhkan sekurangnya 10.000 ekor ngengat untuk memperoleh sejumlah kecil (beberapa ml saja) bahan feromon agar dapat diidentifikasi kandungan bahan kimianya. Sebelum tahun 1972, usaha koleksi bahan feromon memang memerlukan kerja yang amat tekun, karena diperlukan sejumlah besar individu serangga baik utuh maupun potongan bagian tertentu, untuk kemudian diekstraksi menggunakan pelarut khusus. Oleh kemajuan instrumentasi dan teknik fisikokimia saat ini, terutama dengan adanya GLC kapiler, Spektrometri Massa ion selektif, dan juga HPLC; metode deteksi dapat dilakukan dengan sensitivitas dan resolusi (daya pisah) yang amat tinggi tanpa harus menggunakan jumlah serangga yang amat besar.

Golub dan Weatherston (1984) menjelaskan bahwa untuk keperluan keberhasilan suatu program PHT, penggunaan feromon harus didahului dengan (a) penentuan secara tepat kandungan molekul campuran bahan feromon yang disekresikan oleh serangga, (b) penentuan laju produksi dan pelepasan campuran tersebut oleh serangga, dan (c) pengembangan suatu sistem pelepasan feromon terkendali untuk digunakan dalam pemantauan, perangkapan massal, dan program pengendalian menggunakan pelepasan feromon. Ketiga hal tersebut membutuhkan pengetahuan mengenai efektivitas bahan yang telah diformulasi jika digunakan dalam kondisi normal.

Pada dasarnya terdapat dua metode koleksi dan kuantifikasi feromon, yaitu metode ekstraksi pelarut dan metode koleks efluvial (langsung dari udara). Telah dibuktikan oleh Silk dkk. (1980) bahwa jenis bahan yang terdapat pada kelenjar yang menghasilkan feromon dan komposisi bahan yang dilepas ke udara bisa saja berbeda. Dalam menentukan laju pelepasan feromon dari suatu sumber buatan, maka kedua metode tersebut harus diterapkan agar imbang.

Koleksi dari Sumber yang Berupa Serangga

  • Ekstraksi

 

  1. Pemilihan pelarut.

Jacobson (1972) menyatakan bahwa dikhlorometan, heksan, dan dietil-eter merupakan pelarut yang banyak dipilih karena cukup volatil untuk ekstrak agar dapat terkonsentrasi tanpa perlu memanaskannya pada suhu tinggi. Tambahan lagi dikhlorometan tidak mudah terbakar. Namun ada peneliti yang lebih memilih etanol 95%, yang lebih baik daripada dikhlorometan, dietil-eter, heksan, khloroform, benzen dan aseton. Juga karena etanol 95% merupakan pelarut lemak yang jelek, maka hasilnya mengandung kontaminan lipid yang lebih sedikit (Brady & Smithwick, 1968). Karbon disulfida juga pernah dicoba, dan berhasil baik karena mudah menguapkannya dan tak responsif terhadap detektor FID (sehingga deteksi bahan feromonnya lebih mudah), tetapi penggunaannya dalam jumlah banyak terbatasi karena sifatnya yang mudah terbakar dan toksik. Namun dengan semakin pekanya sistem deteksi yang sekarang ada, penggunaannya dapat dipertimbangkan kembali karena bahan ini tidak perlu lagi dibutuhkan dalam jumlah banyak.

  1. Metode ekstraksi.

Dua faktor utama yang harus dipertimbangkan adalah letak kelenjar penghasil feromon dan ukuran serangganya. Cara yang pernah ditempuh Bartelt (1982) misalnya, adalah dengan meletakkan kokon serangga Pikonema alaskensis dalam kapsul gelatin; serangga betina yang muncul tiga sampai lima hari kemudian dibekukan, dan baik serangga, kokon maupun gelatinnya secara terpisah dicuci menggunakan heksan.

Beberapa serangga yang ekstraksinya langsung dilakukan pada individu utuh adalah caplakAmblyomma americanum (L.), ulat kacang Anticarsia gemmatalis (Hubner), ngengat India Plodia interpunctella (Hubner), ulat daun tembakau Heliothis virescens (F.), dan lalat zaitun Dacus oleae (Gmelin). Dengan menggunakan pelarut organik (benzen, eter), serangga direndam selama beberapa menit sampai beberapa jam, bahkan ada pula yang dihomogenisasikan. Sesudah itu dilakukan filtrasi dan penguapan pelarut, dengan prosedur yang berbeda menurut kondisi bahan feromonnya (atau dugaan kandungan bahan feromon yang paling dominan). Diperlukan pengujian beberapa metode atau modifikasinya agar dapat diperoleh jumlah feromon optimal dari ekstraksi cara ini.

Untuk Lepidoptera, metode yang paling banyak digunakan adalah mengekstrak potongan abdomen bagian posterior, tempat terletaknya kelenjar feromon seks. Pada Cadra cautella (Walker) misalnya, dicoba tiga cara ekstraksi yang berbeda terhadap ujung abdomen, dan ternyata ketiganya tidak berbeda nyata. Cara pertama dilakukan dengan memotong ujung abdomen 25 ekor ngengat betina berumur dua hari (periode optimal menjelang perkawinan) dan merendamnya pada campuran heksan: eter (1:1) pada – 220C selama tepat 24 jam; cara kedua dengan homogenisasi ujung abdomen menggunakan penggiling jaringan dari gelas setelah didinginkan -220C dan selanjutnya diekstrak residunya sesudah sentrifugasi selama 30 detik dengan 1 dan 0,5 ml pelarut; dan cara ketiga menggunakan sonikasi ujung abdomen setelah pendinginan -220C selama 24 jam menggunakan Bronwill Biosonik III yang diberi ujung mikrotip.

Pada tahun 1970an beberapa peneliti kemudian telah mampu mengembangkan teknik yang hanya membutuhkan sekelumit pelarut agar ekstraksinya dapat berlangsung cepat. engan menggunakan 0,2 – 0,5 ml eter dalam waktu 1-2 detik jumlah feromon yang dikumpulkan sudah cukup untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan GLC tanpa proses “clean-up”. Pada beberapa jenis hama gudang, dilakukan anestesi menggunakan eter atau pendinginan, kelenjar feromon diperas dengan tekanan jari pada abdomen, dan ujung abdomen dicelup ke dalam eter selama 1 – 2 detik. Sesudah dikeringkan dengan MgSO4, larutan dikonsentrasikan dengan aliran nitrogen kecepatan sedang menjadi sekitar 3 – 5 μl. Jika kemudian suatu volume tertentu (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat, senyawa alkoholnya, dan (z)-9-tetradesen-1-il asetat dikonsentrasikan menjadi 5 μl dan dicampurkan ke dalam alat penyuntik sebelum analisis GC, akan dijumpai kehilangan bahan sebesar 50 – 90%, tanda bahwa di dalam bahan yang diekstraksi terdapat senyawa feromon (yang kemudian bereaksi dengan senyawa alkoholnya sehingga terbentuk senyawa netral tak terdeteksi). Kehilangan ini selanjutnya dapat dikoreksi dengan menambahkan jumlah tertentu standard internal bervolatilitas sama sebelum dikonsentrasikan.

  • Koleksi Langsung dari Udara

Untuk koleksi bahan volatil di udara yang berasal dari serangga, harus ditentukan dulu apakah akan dilakukan pada udara yang bergerak atau yang diam; menggunakan teknik koleksi yang mana (kriogenik atau adsorpsi, misalnya); serta ukuran, susunan serta konstruksi bahan yang dipergunakan menyusun alat koleksi.

  1. Aliran udara pasif

Dengan mengalirkan udara pada betina belum kawin ngengat spesies Choristoneura fumiferana yang ditempatkan dalam kantong plastik, diperoleh bahan aktif feromon. Agar yang terekstraksi bukanlah kontaminan atau bahan plastiknya, ada peneliti yang menggunakan misalnya bejana Mason berisikan kain kasa untuk tempat hinggap ngengat, dan kemudian dimasukkan kl. 100 ekor ngengat betina yang baru muncul dari pupa. Sesudah dua hari ngengat diambil dan bejana serta kain kasa dibasuh menggunakan eter. Metode yang sama juga dipergunakan untuk mengukur laju pelepasan feromon ngengat Plodia interpunctella. Ngengat betina sejumlah 20 ekor dimasukkan ke dalam tabung gelas bertutup volume 500 ml pada suhu 250C selama satu jam. Sesudah ngengat dikeluarkan dengan cepat, tabung dibasuh menggunakan 5 – 6 ml eter anhidrus, larutan disaring dan diuapkan dengan N2 pada suhu 30o C sampai tinggal 3 – 5 μl, dihisap ke dalam jarum suntik dan dianalisis. Efisiensi perolehan feromon diukur dengan menempatkan volume tertentu (nanogram) (Z,E)-9,12-tetradekadien-1-il asetat dan senyawa alkoholnya pada ujung spatula baja tahan karat ke dalam tabung gelas bertutup selama satu jam (dibiarkan menguap sendiri). Ternyata bahwa 80% senyawa asetat dan 40% senyawa alkohol dapat diperoleh kembali sesudah tabung gelas dibasuh dengan pelarut organik.

Berbagai teknik dan metode yang ada telah mampu dipergunakan koleksi bahan feromon sampai pada tingkat nanogram. Teknik-teknik tersebut berguna tidak hanya untuk identifikasi saja, melainkan juga untuk mengukur laju emisi, kemampuan perolehan kembali (recovery) termasuk penyempurnaannya seperti pengaruh jumlah pembasuhan, pendinginan tabung, variasi cara koleksi dll, juga isolasi dan elusidasi bahan pada kecoa, serta laju pelepasan dan produksi feromon misalnya pada Plodia dan Dacus oleae. Teknik pengambilan langsung dari udara secara pasif (passive airflow) masih dianggap kurang memadai jika dilakukan di lingkungan secara langsung sehingga perlu dicari cara koleksi yang lebih memadai.

  1. Aliran udara bergerak

Aliran udara begerak dibagi menjadi tiga yaitu:

  • Perangkap kriogenik

Kriogenik adalah teknik yang dilakukan pada suhu amat rendah. Dalam melakukan sampling di lapangan, suhu ini diperlukan karena pada suhu nitrogen cair (-196oC) semua senyawa organik yang umumnya terdapat di udara dapat disingkirkan. Pada sistem kriogenik, masukan udara diperoleh dengan cara membuat ruang hampa di dalam perangkap melalui kondensasi udara yang masuk. Dengan demikian ada tiga faktor yang menentukan laju masuknya udara: luas permukaan untuk kondensasi udara, perbedaan suhu antara bahan pendingin dan titik cair udara, dan ukuran lubang masukan udara.

Metode semacam ini mulapertama diterapkan oleh Browne dkk. (1974). Ada tiga teknik perangkap kriogenik yang mereka kembangkan untuk memperoleh feromon volatil kumbang kulit kayu.

Bersama dengan semakin bertambahnya isi Erlenmeyer oleh udara cair mengandung bahan feromon, luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran panas berkurang, dan lajur aliran udara juga berkurang. Sewaktu alirannya turun sampai di bawah laju yang diinginkan, tabung koleksi di dalam nitrogen cair dipindahkan ke freezer suhu rendah (-50 oC), sehingga udara dibiarkan menguap pelan-pelan sementara bahan feromonnya tertinggal. Agar pelaksanannya dapat dilakukan dalam waktu lebih lama (umumnya hanya 4 – 6 jam), Erlenmeyer diganti dengan tabung berbentuk U yang salah satu ujungnya dihubungkan pada mesin hampa. Dengan cara ini penguapan udara dapat berlangsung sampai 48 – 96 jam. Browne et al. kemudian menyempurnakan disainnya dengan menempatkan tabung U di dalam tabung/bejana lain secara khusus sehingga kemampuan pertukaran panas pada lubang masuk menjadi lebih besar dan evaporasi udara cair pada lubang keluar berlangsung pelan-pelan. Ujung lubang keluar ini juga dilengkapi dengan alat pengatur aliran sehingga dapat dipergunakan mengatur tekanan hampa sehingga terjadi suatu “kancing cairan”. Selain itu disain ini juga menghemat nitrogen cair.

  1. Perangkap Dingin.

Teknik ini dipergunakan dalam isolasi dan identifikasi feromon serangga dari beberapa ordo seperti misalnya Orthoptera, Coleoptera, Diptera dan Lepidoptera. Pada tahun 1971 teknik yang berkembang sejak awal tahun 1960an ini juga dicoba untuk analisis kuantitatif.

Salah satu teknik yang dipergunakan misalnya adalah pada Trichoplusia ni. Nitrogen dengan laju 150 ml/menit dialirkan selama 10 menit pada serangga betina individual yang ujung abdomennya ditonjolkan menggunakan forsep untuk gigi, atau di atas sejumlah mikrogram feromon sintetik yang diletakkan pada cakram tembaga. Aliran gas kemudian dilewatkan melalui sejumlah kecil karbon disulfida yang ditempatkan dalam tabung U pada suhu -70 oC hasil dari penangas es kering-aseton. Sesudah dikoleksi, permukaan gelas tabung koleksi dibasuh dengan pelarut, dan larutan karbon disulfida yang terkumpul (kl. 3 ml) diuapkan menjadi 100 μl dengan menggunakan penangas air. Selanjutnya diambil alikuot 10 μl untuk dianalisis menggunakan GLC dan secara kuantitatif diperbandingkan pada kurva detektor untuk berbagai konsentrasi bahan (Z)-7-dodesen-1-il asetat.

Cara ini secara umum masih memungkinkan kehilangan perolehan. Pada teknik di atas misalnya, terjadi kehilangan 34% karena transfer dan prosedur konsentrasi yang kurang tepat. Demikian juga pemasangan cakram tembaga dapat menjadi sumber galat, karena volume pelarut yang dipergunakan tidak dilaporkan. Beberapa peneliti perlu menggunakan faktor koreksi, sehingga banyak yang menyatakan bahwa metode ini memang kurang begitu dapat dipercaya.

  1. Penjerap Resin dan Adsorben Lainnya.

Untuk koleksi feromon serangga, penjerap resin (resin adsorbent) juga telah dipergunakan sebagaimana yang umum dilakukan pada koleksi polutan air, analisis aroma, dan kajian metabolit cairan tubuh. Kapasitas adsoben bahan padat khromatografi telah dipelajari dengan sangat ekstensif, dengan dicari kesesuaiannya terhadap senyawa tertentu, meski bahan adsorben seperti itu umumnya mampu berfungsi sebagai adsorben untuk berbagai bahan organik volatil.

Kelebihan teknik ini terutama adalah tidak dibutuhkannya suhu rendah, luas permukaan yang besar karena bentuknya tepung, dan tersedia berbagai jenis untuk koleksi bahan volatil yang berbeda. Salah satu kekurangannya adalah, pada suhu yang terlalu tinggi, ada kemungkinan bahan volatil mengalami pirolisis. Pada kondisi kita di Indonesia, kendala teknik menggunakan penjerap resin adalah harganya yang mahal, sehingga prosesnya pun menjadi mahal. Sekali lagi, pemahaman khusus mengenai kimia adsorben amat dibutuhkan agar diperoleh bahan yang paling efisien.

PARFUM FEROMON

 

Tinggalkan komentar