Mekanisme Pola Pikir Agama, Saintifik, & Spiritual

Ada tiga pola pikir yang mempengaruhi peradaban manusia, hingga titik saat ini. Ini berlaku sesuai dengan era dan perkembangan kesadaran manusia itu sendiri.

Standarisasi ini, sebenarnya tidak baku. Ini hanya faktor kecendrungan dari pelopor pemikiran yang mengubah dunia. Artinya, secara mayoritas mungkin masih dalam dimensi pola pikir tertentu. Dibawahnya!

Peradaban dunia, bukan diubah oleh mayoritas manusia. Melainkan oleh kelompok-kelompok kecil yang bahkan seolah melawan arus.

Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut;

Boleh saja jutaan umat manusia didunia memeluk agama Kristen, Islam, Budha, Hindu dan lainnya. Dimana segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Dewa-Dewi atau Tuhan-Tuhannya. Perang, wabah penyakit, ekonomi, adalah bagian dari rencana Tuhan.

Bahwa, kemenangan perang salib adalah restu dari Tuhan Kristen. Kemenangan perang Badar adalah rencana Tuhan Islam atas musuh-musuh Muslim. Bahwa ada malaikat, roh-roh suci yang ikut berperan atas yang terjadi.

Bahwa, saat ada sebuah wabah penyakit melanda suatu wilayah, atau sebuah gunung meletus yang mengakibatkan bencana alam yang menimpa manusia, itu adalah bentuk cobaan dari Tuhan atau Dewanya. Yang murka karena adanya sesuatu.

Bahwa, saat manusia kesulitan secara ekonomi. Kelaparan atau kurang gizi. Ini pun merupakan bagian dari ketetapan Tuhan.

Pemikiran ini membuat pikiran manusia seolah tidak berdaya. Harus mengikuti dan menerima takdir dari ketetapan sesuatu di luar dirinya. Bukan berpikir bahwa perang terjadi karena adanya sebuah kepentingan politik tertentu, wabah penyakit terjadi karena virus tertentu, dan kesulitan ekonomi adalah bagian dari persoalan ketidak tahuan terhadap pola ekonomi itu sendiri.

Namun, bagi sekelompok kecil orang dengan pemikirannya. Mengubah semua itu. Dari peradaban manusia dalam kehidupan sebagai pemburu pengumpul, menjadi bercocok tanam. Dari peradaban yang hanya kenal sistem bercocok tanam, muncul ide dari suatu kelompok menjadi era Industri. Dan saat ini, memasuki era Informasi.

Do’a-do’a para rabbi dan kaum rohaniawan untuk mengatasi konflik perang, wabah penyakit, kelaparan, dijawab oleh ilmu pengetahuan dari sekelompok kecil orang-orang. Sebagian bahkan dianggap musuh agama-agama itu sendiri.

Berbagai era tersebut, diubah dan dipelopori oleh sebagian kecil orang. Bukan sebagai kesepakatan bersama. Mayoritas bukan menjadi jaminan yang akan mengubah peradaban manusia.

Ini adalah contoh kecil, yang jika dibahas akan menjadi panjang dan kompleks. Namun dapat diurai satu-persatu, jika mau!.. Namun, artikel kali ini bukan khusus membahas tentang fenomena tersebut. Tapi tentang tahapan pola pikir manusia. Pola pikir tersebut mempengaruhi tingkat kesadaran manusia. Dan tentunya mempengaruhi bagaimana cara manusia menjalani hidup.

Mekanisme Pola Pikir Agama

Agama disini adalah mengambarkan tentang berbagai aliran sistem keyakinan. Dimana dalam hal ini, panduannya didasarkan melalui kitab-kitab suci.

Di Eropa abad pertengahan, rumus utama untuk sesuatu yang disebut “pengetahuan” adalah; Kitab Suci x Pikiran. Rumus tersebut masih berlaku dibanyak wilayah. Salah satunya seperti di Indonesia.

Sebagai contoh; Jika orang ingin mengetahui jawaban atas sebuah pertanyaan penting, mereka akan membaca teks kitab suci. Lalu menggunakan pikirannya untuk memahami makna sesungguhnya. Misalnya, para Sarjana yang ingin menentukan bentuk Bumi. Sekelompok sarjana tersebut akan menelusuri Bibel untuk mencari refrensi yang relevan. Orang mengemukakan bahwa dalam Ayub 38:13 menyebutkan, Tuhan bisa “memegang ujung-ujung Bumi, dan orang-orang fasik dikebaskan darinya”. Ini menunjukkan (demikian cendikiawan memberi alasan) bahwa karena Bumi memiliki “ujung-ujung” yang “dipegang” oleh Tuhan, maka pasti Bumi berbentuk persegi datar.

Sementara Cendikiawan lainnya, menolak penafsiran ini. Mereka berpegangan pada Yesaya 40:22, yang menyatakan Tuhan “duduk bertakhta di atas lingkaran Bumi” ini berarti bukti bahwa Bumi itu bulat!

Dalam praktik ini, dapat dilihat sebuah fakta pola pikir manusia dalam hidup dan berada dalam pengaruh sebuah agama. Para sarjana pada contoh diatas, mencari pengetahuan dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah dan perpustakaan, membaca lebih banyak teks, dan memperluas cakrawala berpikir yang membentuk logika untuk kemudian memaknai teks-teks kitab sucinya. Untuk kemudian dianggap benar.

Jadi jangan heran, jika di Indonesia fenomena perdebatan Bumi bulat atau datar masih terjadi. Berbagai hal akan dikaitkan dengan teks-teks ayat suci. Di singkronkan. Dicari relevansinya.

Ini juga yang menjadi alasan setiap teks dalam ayat suci, penafsirannya akan berbeda pada setiap orang. Tidak pernah sama! Sangat tergantung latar belakang manusianya.

Mekanisme Pola Pikir Saintifik

Saintifik merevolusi cara berpikir manusia. Dan dalam hal ini mengajukan rumus yang jauh berbeda dalam berpikir. Untuk sesuatu yang dianggap “pengetahuan” bersumber dari; Data Empiris x Matematika.

Dalam rumus tersebut, jika kita ingin tahu sebuah jawaban atas suatu pertanyaan, kita perlu mengumpulkan data empiris yang relevan, kemudian menggunakan alat-alat matematika untuk menganalisanya.

Misalnya, jika kita ingin mengukur bentuk sebenarnya Bumi, kita bisa mulai dengan mengamati Matahari, Bulan, dan Planet dari berbagai lokasi di seluruh dunia. Setelah kita mengumpulkan hasil observasi yang banyak, kita bisa menggunakan trigonometri untuk menyimpulkan tidak hanya bentuk bentuk Bumi, tetapi juga struktur seluruh sistem tata surya.

Dalam hal ini dapat digambarkan, para ilmuwan mencari pengetahuan dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun di observatorium, laboratorium, dan ekspedisi-ekspedisi riset, mengumpulkan lebih banyak dan lebih banyak data empiris dan mempertajam alat-alat matematika mereka. Sehingga mereka bisa menginterprestasikan data dengan benar.

Rumus saintifik untuk pengetahuan ini menghasilkan trobosan yang mencengangkan dalam astronomi, fisika, kedokteran, dan melipatgandakan disiplin ilmu pengetahuan lainnya.

Namun rumus saintifik ini memiliki kelemahan besar. Khususnya dalam menentukan makna kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam tatanan kehidupan sosial manusia. Sementara peradaban manusia juga sangat berhubungan dengan nilai-nilai tersebut. Rumus saintifik tidak bisa merumuskan standar moralitas yang berkaitan dengan makna kehidupan manusia.

Dalam hal ini, cendikiawan abad pertengahan mengembalikan pada ketetapan-ketetapan kitab suci. Seperti untuk menentukan dengan kepastian absolud bahwa membunuh dan mencuri itu salah, bahwa tujuan manusia hidup menjalani perintah Tuhan dan menghindari larangannya. Karena kitab suci menyebuatkan demikian!

Saintifik tidak bisa memberikan ketetapan-ketetapan etis semacam itu. Tidak ada jumlah data dan tak ada sihir matematika yang bisa membuktikan bahwa membunuh itu salah. Sementara peradaban tidak bisa hidup tanpa nilai dan makna.

Untuk itu, jalannya adalah terus menggunakan rumus lama abad pertengahan bersama metode saintifik yang baru. Saat berhubungan dengan bentuk bumi, membangun jembatan, mengobati penyakit, kita menggunakan data empiris dan menganalisisnya dengan matematika. Ketika berubungan dengan etika, nilai-nilai moralitas seperti, perceraian, aborsi, hingga homoseksual, maka kita membaca kitab suci.

Solusi seperti ini diadopsi pada tingkat tertentu oleh banyak masyarakat modern dari Inggris Victoria sampai Iran abad ke-21. Dan ini juga masih terjadi di Indonesia mungkin hingga saat ini.

Mekanisme Pola Pikir Spiritual (Humanisme)

Masyarakat Indonesia lebih dekat dengan kata-kata spiritual. Spiritual sendiri adalah tentang upaya memberi makna dan nilai dalam kehidupan manusia. Makanya, agama, kebudayaan, dan tradisi tertentu sering dikaitkan dengan spiritual. Spiritual dalam artikel ini, disebut dengan humanisme.

Humanisme memberi alternatif rumus dalam pola pikir manusia. Dia seperti meninggalkan rumus pola pikir agama. Sehingga oleh pemikiran barat yang cenderung meninggalkan konsep keagamaan menganggapnya rumus baru untuk memperoleh pengetahuan. Dimana mendapatkan kepercayaan pada dirinya sendiri.

Tulisan ini sendiri, terinspirasi dari tulisan Prof. Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul Homo Deus. Dimana menyebutkan bahwa humanisme menawarkan alternatif atas rumus pengetahuan etis dan standar moralitas.

Namun, saya pribadi berpendapat rumus humanisme ini telah berlaku jauh sebelum era agama dan saintifik. Makanya saya menyebutnya pola pikir spiritual.

Bahwa rumus untuk memperoleh pengetahuan etis adalah; Pengalaman x Sensitivitas. Jadi, jika kita ingin tahu jawaban atas pertanyaan etis apa pun, kita perlu menjangkau pengalaman dalam diri kita dan mengamatinya dengan sensivitas tinggi.

Dalam praktiknya, ini berarti bahwa kita mencari pengetahuan dengan menghabiskan waktu bertahun-tahun mengumpulkan pengalaman-pengalaman, mempertajam sensitivitas kita sehingga kita bisa memahami pengalaman-pengalaman ini dengan benar.

Apa itu pengalaman? Pengalaman bukanlah data empiris. Sebuah pengalaman tidak terdiri dari atom-atom, gelombang-gelombang elektromagnetik, protein-protein, atau angka-angka.

Pengalaman adalah fenomena subjektif yang terdiri dari tiga unsur utama. Sensasi, emosi, dan pikiran. Apa pun yang muncul dalam pikiran yang memicu sensasi dan emosi adalah merupakan pengalaman bagi manusia. Hidup dalam dimensi pikirannya.

Pada saat kapan pun, pengalaman saya berisi segala yang saya rasakan (panas, senang, sedih, tegang, dll.), segala yang memicu emosi saya (cinta, takut, marah dll.) Dan apa pun yang muncul dalam pikiran saya.

Lalu, apa itu sensitivitas? Ini berarti dua hal. Pertama, memperhatikan sensasi, emosi, dan pikiran saya. Kedua, membiarkan sensasi, emosi, dan pikiran ini mempengaruhi saya.

Benar, saya tidak boleh membiarkan angin lalu menyapu saya. Namun saya harus terbuka pada pengalaman baru dan membolehkannya mengubah pandangan-pandangan, prilaku, bahkan kepribadian saya.

Pengalaman dan sensitivitas saling membangun dalam siklus yang tak pernah berhenti. Saya tidak bisa mengalami apa pun jika saya tidak punya sensitivitas, dan saya tidak bisa mengembangkan sensitivitas jika tidak mengalami beragam pengalaman. Jadi, keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri.

Sensitivitas bukan kemahiran abstrak yang bisa dikembangkan dengan membaca buku atau mendengarkan kuliah. Ia adalah keterampilan praktis yang hanya bisa menjadi masak dan matang dengan menerapkannya dalam praktik.

Kopi, misalnya. Saya memulainya dengan minum kopi biasa yang sangat manis sambil membaca postingan-postingan status di beranda akun facebook saya. Kopi menjadi semacam dalih untuk menggandrungi gula. Suatu hari saya menyadari bahwa antara gula dan postingan di facebook, saya hampir tidak merasakan kopi sama sekali. Jadi, saya mengurangi jumlah gula, menyingkirkan smartphone alat akses facebook, menutup mata dan fokus pada kopinya saja. Saya mulai menyesap aroma dan rasa uniknya. Kemudian saya asik bereksperimen dengan bermacam-macam kopi, kopi luak, arabika, dan robusta, membandingkan rasanya yang nikmat dan aromanya yang menggoda. Lalu saya menulis pengalaman menikmati kopi di facebook. Dalam beberapa bulan, saya meninggalkan label-label supermarket dan membeli secara khusus melalui maestro kopi di Indonesia. Tidak hanya itu, dari tulisan itu beberapa teman dari berbagai wilayah di Indonesia, mengirimi saya secara khusus bubuk kopi khas daerahnya. Kesukaan istimewa saya tumbuh pada kopi “HAINAM” dari daerah saya sendiri di Kota Curup Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu, yang dibuat dari biji-biji kopi pilihan yang telah disimpan hingga delapan tahun di gudang, lalu disangrai secara tradisional dengan bahan bakar dari pohon-pohon kopi itu sendiri. Kopi itu sendiri digodok bersama air secara bersama. Begitulah, secangkir kopi pada satu waktu, saya menajamkan sensitivitas pada kopi dan menjadi seorang penikmat kopi. Jika pada hari-hari pertama saya minum kopi, Anda sajikan kopi ‘Hainam’ dalam cangkir porselen peninggalan kerajaan Majapahit, disajikan oleh pramusaji cantik, saya tidak akan mengapresiasinya lebih dari kopi bungkusan harga seribuan dari warung-warung.

Anda tidak bisa mengalami sesuatu jika Anda tidak memiliki sensitivitas yang diperlukan, dan Anda tidak bisa mengembangkan sensitivitas tinggi kecuali dengan menjalani satu untaian panjang pengalaman.

Yang berlaku pada seni minum kopi, berlaku juga pada semua pengetahuan. Khususnya, tentang nilai-nilai kebijaksanaan, estetika, etis, standar moral dan lainnya.

Manusia tidak lahir dengan kesadaran pikiran yang siap pakai. Anda harus tahu itu! Seiring perjalanan kehidupan yang kita lalui, kita menyakiti orang dan orang membalas menyakiti kita, kita berbuat dengan penuh kasih sayang dan orang lain menunjukkan kasih sayangnya kepada kita.

Jika kita memberi perhatian, sensitivitas moral kita menjadi lebih tajam, dan pengalaman-pengalaman ini menjadi sumber pengetahuan etis yang berguna tentang apa yang baik, apa yang benar, dan siapa sesungguhnya kita.

Hukum ini; berlaku dalam dunia spiritual. Berlaku dalam pola pikir dalam rumus humanis. Melahirkan berbagai konsep yang kemudian mempengaruhi peradaban manusia. Seperti Hak Azazi Manusia, konsep kehendak bebas, aturan-aturan dll. Pada berbagai wilayah, koloni, kelompok, dan waktu ke waktu.

Makanya, spiritual menurut saya memandang kehidupan sebagai proses bertahap dari perubahan dalam diri, bergerak dari ketidak tahuan menuju pencerahan dengan sarana pengalaman hidup. Terbentuk dari perjalanan hidup!

Saya tidak percaya, pencerahan itu muncul tiba-tiba hadiah dari langit! Seketika mengerti begitu saja, tanpa belajar dari pengalaman hidup sama sekali.

Wahyu-wahyu, pencerahan, nilai-nilai kebijaksanaan, standar moral, dan lainnya, muncul dari mekanisme pengalaman dan sensitivitas tinggi. Buah dari perhatian yang mendalam. Memicu ide dan gagasan baru yang didapat dari pengalaman hidup itu sendiri.

Anda mampu untuk melakukan itu!

Tinggalkan komentar