Rasionalitas dalam spiritual?

Generasi saat ini seharusnya, telah cukup umur untuk menerima dosis skeptisisme sehat. Orang tua Barat, mendorong anak-anak mereka untuk menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri, untuk mencoba berbagai hal. Dan mengajukan banyak pertanyaan di sepanjang jalan.

Ini memungkinkan, sisi kemanusiaannya bertumbuh. Adanya potensi untuk menemukan hal-hal baru. Diluar apa yang sudah ada.

Resikonya, sederhana. Saat mereka mulai banyak tahu, mereka tidak bisa lagi ditakuti dengan kebohongan.

Di zaman di mana informasi tentang topik apa pun dapat ditemukan secara instan, dengan pencarian Google yang cepat, masuk akal bahwa sikap generasi ini menjadi skeptis.

Ada desakan, setiap teori didasarkan pada fakta dan temuan. Seharusnya, spiritualitas harus dibangun di atas fondasi yang sama.

Sejarah telah menunjukkan banyak contoh keyakinan buta. Selalu mengarah pada hasil yang buruk. Alih-alih tumbuh sebagai manusia yang beradab, spiritual buta malah menjerumuskan orang pada tindakan ekstreem. Brutal!.. Jika diukur dalam standar moralitas masyarakat modern.

Pola pikir modern, membutuhkan spiritualitas yang dapat dipahami. Secara rasional. Secara logis dan lugas. Ketimbang yang terselubung dalam misteri.

Ini sangat penting. Karena, spiritualitas telah merasuki setiap sendi kehidupan sosial. Dari zaman dulu. Dari budaya pop, hingga politik.

Siapa pun dapat berdalih bahwa, soal fenomena jalan spiritual digunakan sebagai alat politik

Kita ambil contoh, pemilihan Presiden RI 2019 ini. Tokoh-tokoh spiritual keagamaan, jauh masuk kedalam permainan politik. Berada diantara barisan politisi dalam memperebut kekuasaan.

Sentimen spiritualitas keagamaan, menjadi salah satu celah masuk dalam mencari dukungan politik.

Anda bisa lihat, di pihak Prabowo Sandi, ada beberapa nama tokoh spiritual keagamaan. Dan begitu juga di pihak Jokowi.

Ada banyak alasan, jika ingin berargumentasi, bahwa itu adalah sesuatu yang benar. Namun, ketahuilah faktanya bahwa, pemilihan presiden adalah perang dalam memperebut kursi kekuasaan.

Masyarakat yang tidak dewasa secara spiritual, menjadi sasaran empuk. Sisi emosionalnya, mengalami pergolakan dahsyat!.. Berpikir, bahwa apa yang terjadi adalah perang suci.

Tidak ada kata yang paling halus, untuk para korban. Yang bahkan sampai mati. Selain bahwa mereka adalah korban propaganda politik.

Saat permainan usai. Para politisi dapat kembali menjalani hidup. Kembali melakukan negosiasi, konsolidasi, dan membuat rencana-rencana baru.

Korban.. Dan yang mati.. Hanya soal waktu. Untuk dilupakan.

Perang-perang besar berlatarbelakang keagamaan masa lalu, juga sama. Pada generasi selanjutnya, setelah perang usai, mereka dapat menyatu kembali. Saling mengawini dan lainnya.

Tidak hanya di Indonesia. Di luar pun sama.

Ambil contoh senator Texas dan calon presiden Ted Cruz, yang kampanye politiknya telah menerima dorongan besar dari ayahnya, Rafael Cruz, yang adalah seorang pendeta. Dimana, di jalur kampanye, Ted mengobarkan kutipan favorit ayahnya kepadanya:

“Tidak ada yang memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk kondisi negara ini, daripada para pendeta,”

~ kata Cruz, mengutip ayahnya.

“Jika kawanan domba tersandung ke dalam parit, Anda tidak menyalahkan domba. Anda menyalahkan gembala. “

Kita bukan berbicara tentang Cruz. Hal seperti itu memang sering terjadi, dalam permainan politik. Anda bisa ingat-ingat yang di Indonesia.

Kutipan seperti Cruz, memunculkan poin yang menarik. Pemimpin, baik spiritual atau politik, harus mampu menyampaikan pengetahuan mereka dengan cara yang jelas yang dapat dipahami, dan dengan demikian dapat diterima, oleh rakyat. Ini sangat penting untuk memperbaiki kondisi negara.

Berat, saya mengatakan bahwa, para tokoh spiritual keagamaan, telah gagal berkomunikasi dengan jelas. Sehingga, masyarakat sangat mudah terpengaruh dengan berbagai jargon yang digunakan politisi. Yang ujungnya, jelas menjadi korban setiap ada perang perebutan kekusaan.

Memang, tidak ada yang benar-benar dapat diminta pertanggungjawabannya. Semua seolah mempunyai alasan. Alasan yang hanya dimengerti melalui iman atau faktor kepercayaan.

Jika Anda percaya, pada satu orang, maka itu sudah cukup. Kebohongan-kebongan, bisa saja menjadi sesuatu yang dianggap benar.

Baca artikel sebelumnya;
Sistem Keyakinan Jalan Penjajahan
Tipuan Dalam Sistem Keyakinan

Anda yang tahu tentang fenomena ini, juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan terlalu jauh untuk masuk, jika tidak mau dikatakan pengacau. Dan musuh dari apa yang mereka diyakini.

Sebagian aliran spiritualitas, tidak mendukung mentalitas ilmiah dan skeptisisme. Walau beberapa, Walau beberapa, sudah mulai tidak puas dengan cara-cara ini.

Bukan.. Saya bukan merendahkan. Namun, sebagian pemimpin spiritual agama, berbicara di televisi dan muka publik. Sudah berada pada titik yang menjemukan.

Akan lebih baik jika, mereka mengakui bahwa, mereka tidak memiliki jawaban untuk semua pertanyaan penting.

Bahkan tipe intelektual, mereka yang mengaitkan spiritualitas dengan fisika modern, benar-benar terasa kering. Dan sangat terbatas untuk menyatukan semua potongan teka-teki kehidupan.

Karena itu, terlalu banyak orang yang bermaksud baik dan cerdas, terpaksa membuang bayi rohani dengan air mandi. Dan memutuskan bahwa mereka ateis, agnostik, atau hanya ‘religius sosial’ pada hari raya Idul Fitri, Natal atau Paskah.

Saya tidak bisa memberi tahu Anda, berapa banyak anak muda yang datang kepada saya mengatakan, dengan satu atau lain cara, bahwa mereka ingin percaya dan memiliki iman, tetapi mereka tidak bisa.

Mereka terlanjur skeptis. Mereka memiliki informasi yang didapat dari berbagai sumber. Melalui berbagai media. Mereka tidak mendapat jawaban, untuk hal-hal yang mereka pertanyakan. Selain diberi ancaman hukuman. Dan ditakut-takuti oleh apa yang terjadi setelah mati.

Saya harus menggarisbawahi bahwa, kebenaran yang diketahui oleh orang-orang spiritual dulu bisa saja benar. Namun pengetahuan ini hilang, saat diterjemahkan. Karena tidak ada kemampuan untuk mengkomunikasikannya, kepada generasi selanjutnya. Dengan cara yang dapat didengar dan difahami oleh umat manusia.

Ini seperti akar kehidupan yang terputus dari pohon. Tidak heran jika kemudian, berbagai persoalan kemanusiaan muncul. Perjuangan-perjuangan untuk menegakkan kebenaran, dilakukan dengan cara salah.

Untungnya, saya melihat, ada kemunculan-kemunculan komunitas baru. Dengan pemahaman rasional yang mendalam. Pelan-pelan berusaha keluar dari selokan.

Spiritualitas modern yang berakar pada pemikiran rasional, mulai berani untuk berpikir bebas. Mengusir takhayul dan memperdalam pengetahuan, untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Sudah saatnya kita, untuk memulai berpikir tentang sifat-sifat kehidupan. Tentang pola-pola yang membuat kenapa ini begini, dan kenapa itu begitu.

Terlepas, apakah itu disebut spiritualitas atau sains. Intinya adalah, adanya pemikiran bahwa; “Saya hanya ingin jawaban. Saya ingin tahu yang sebenarnya”

Mungkin kita harus berterimakasih pada ateis dan agnostik. Karena mereka menuntut agar ada pemahaman yang lebih dalam. Lebih jelas tentang hakikat kehidupan. Yang mendorong untuk mencari jalan baru. Yang didasarkan pada mentalitas rasional. Dan tidak buta terhadap keajaiban dunia di sekitar kita.

Seharusnya, iman buta tidak bekerja dalam masyarakat yang tumbuh bersama Google.

Dan yang terakhir, entah itu para tokoh spiritual keagamaan, atau siapa pun, jujurlah setidaknnya pada diri sendiri. Jika ada yang belum diketahui. Katakan belum. Karena itu memungkinkan adanya potensi untuk mengetahui.

Jika ada yang bermasalah. Akui bahwa bermasalah. Dengan begitu akan dapat belajar dari setiap persoalan yang terjadi.

Bukan mencari kambing hitam..

Tinggalkan komentar