Sistem Keyakinan, Sensasi, Halusinasi dan Delusi

Saat anda membaca bagian ini, saya yakin anda sudah mulai bisa melihat cara kerja pikiran. Khususnya dalam ranah sistem keyakinan. Tentang sebuah kalimat yang selalu sayang ulang-ulang; “ketika pikiran percaya, maka yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa jadi salah”.

Tapi ketika anda tiba-tiba loncat disini tanpa membaca tulisan sebelumnya, anda akan berada diawang-awang. Tidak akan menyentuh esensi yang ingin saya sampaikan.

Tahukah anda bahwa, ada begitu banyak kegilaan dalam kehidupan manusia. Ada yang terlihat dan ada yang tidak. Mungkin orang-orang disekitar anda dan atau mungkin anda sendiri. Tidak ada persoalan juga, sepanjang bahagia dan baik-baik saja. Karena sama saja, dorongan dasar manusia adalah bertahan hidup dan mencapai kehendak untuk bahagia. Jika itu sudah terpenuhi, mau cari apalagi? Paling menunggu mati dan berharap dalam kematian juga bahagia dan baik-baik saja.

Memang ada serangkaian konsep dan teori yang dibentuk oleh pikiran manusia tentang ideal nya sebuah kehidupan. Baik berupa ide, gagasan, imaginasi, fantasi, sehingga muncullah berbagai standar asumsi.

Saya sendiri sampai saat ini tidak mengambil sebuah kesimpulan tentang idealnya kehidupan manusia, selain tercapainya rasa bahagia dan baik-baik saja. Bahkan, seandainya pun, mampu menarik dan atau mengeluarkan orang dari dimensi kegilaan pikirannya, saya memilih untuk tidak melakukannya, jika dalam kegilaan tersebut manusia dapat hidup bahagia dan baik-baik saja. Baik pada dirinya dan dunia disekitarnya.

Tulisan yang saya buat dengan berbagai argumentasi pendukung ini pun pada dasarnya hanya bertujuan membuat manusia bahagia dan baik-baik saja.

Tahukah, manusia itu sebenarnya tidak bisa benar-benar membedakan antara realitas atau hanya halusinasi yang muncul karena asumsi. Kenapa, karena sejati kehidupan manusia itu, adanya di dimensi pikiran masing-masing indifidu. Hanya saja, ada beberapa standar yang menjadi kesepakatan bersama.

Warna merah yang ada dalam kepala saya, bisa jadi tidak benar-benar sama dengan merah dalam kepala anda. Hanya saja, kita sepakat sesuatu itu disebut warna merah. Jika anda dalam kondisi trance saat dihipnosis, warna merah tersebut disugestikan sebagai warna biru, maka birulah menurut anda. Anda akan benar-benar berpikir itu warna biru. Ya, menurut anda itu biru. Dalam realitas pikiran anda itu adalah biru. Benar-benar biru! Demikian juga berbagai fenomena, sensasi, dan kondisi.

Dalam sebuah situasi, manusia pun tidak akan merasakan hal yang sama. Saat mendung misalnya, anda mungkin bisa saja merasa sedih karena dalam perjalan hidup anda, ada moment-moment yang membuat anda sedih. Sehingga, setiap mendung, sistem syaraf anda akan memunculkan sensasi sedih. Sementara saya, memiliki pengalaman berbeda. Mendung mengingatkan saya pada sebuah moment bercinta dan itu mampu memancing libido saya tinggi. Sistem syaraf saya malah terpicu untuk ingin bercinta.

Begitulah, dunia yang ada diluar didiri anda sangat tergantung dengan dunia didalam dimensi pikiran anda. Apa pun yang ada diluar hanya faktor pemicu. Berbagai sensasi, kondisi dan fenomena yang anda rasakan sangat tergantung dengan asumsi yang adanya di dalam pikiran anda. Sangat tergantung dari serangkaian proses perjalan hidup anda.

Makanya, sebuah persoalan akan disikapi dengan cara berbeda oleh masing-masing manusia. Sangat personal. Sangat indifidual. Tidak akan pernah sama! Kenapa? Ya karena sensasinya pasti berbeda.

Jika anda Atheis, maka anda mungkin merasa terganggu saat mendengar azan yang berkumandang melalui toa-toa masjid. Ya, dalam dimensi pikiran anda itu memunculkan sensasi suara yang berisik. Realitas yang anda rasakan memang seperti itu. Nyata! Sebuah polusi suara yang membuat tidak nyaman.

Namun akan sangat berbeda sensasinya bagi umat muslim taat. Suara azan dari toa cempreng tersebut seolah kidung yang teramat menggugah. Mengetarkan. Memunculkan sensasi eforia. Sakral dan penuh makna.

Baiklah, kita teruskan sedikit lagi. Pernahkan terpikirkan oleh anda bahwa, sebuah tempat akan memberikan sensasi berbeda pada manusia. Benar-benar berbeda pada setiap insan manusia.

Saat anda terlahir kedunia anda benar-benar polos. Anda masih primitif. Belum mengenal yang namanya pradaban, moralitas, dan serangkaian nilai-nilai yang dianggap baik atau buruk. Anda akan melihat segala sesuatu apa adanya. Tapi, sejak itu lingkungan mulai mempengaruhi anda. Mulai memperkenalkan produk pikiran mereka. Anda yang tidak tahu apa-apa akan percaya saja. Seandainya, anda diajarkan bahwa warna merah itu sebagai biru, dialam pikiran anda pasti terekam memori yang anda anggap sebagai kebenaran. Warna merah sebagai biru. Ya begitulah alam pikiran terbentuk. Saling mempengaruhi dan terus berproses dimana sangat memungkinkan terjadinya pikiran-pikiran baru.

Nilai-nilai keyakinan yang ada dalam pikiran anda saat ini, adalah bentukan lingkungan. Terbentuk oleh pengaruh lingkungan. Termasuk nilai-nilai kebenaran relegius yang anda anut.

Ya, anda yang terlahir dalam lingkungan relegius akan cenderung tumbuh sebagai orang relegius. Anda yang berada dalam sebuah sistem keyakinan pasti terbentuk oleh pengaruh lingkungan anda. Bisa orang tua, kerabat, guru, bahan bacaan buah pikiran orang-orang sebelumnya, wawasan, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Dan pikiran anda akan membuat bentuk yang memicu sensasi dalam diri.

Saya akan memberikan sebuah gambaran. Manusia yang dibesarkan dalam sebuah sistem keyakinan, akan menganut nilai-nilai relegius. Akan diperkenalkan dengan berbagai hal yang dianggap sakral. Seperti tempat ibadah misalnya.

Manusia yang dalam sebuah sistem keyakinan, akan merasakan sensasi tertentu saat memasuki tempat ibadah atau sesuatu yang dianggap suci. Akan merasa tergetar, eforia, nyaman, dan itu sering disebut sebagai pengalaman spiritual. Ya, pengalaman spirit anda yang bernama pikiran. Pikiran yang mendapat informasi data bahwa tempat tersebut adalah sesuatu yang suci. Lalu menstimulasi sistem syaraf memunculkan sensasi. Produk pikiran.

Pertanyaannya, apakah benar kesakralan tempat tersebut yang memberi sensasi? Saya kira tidak! Tempat tetaplah tempat, begitu adanya. Jika pun memicu sensasi, mungkin karena faktor alam. Seperti cuaca, suhu, atau waktu.

Manusia yang tidak terkait oleh sistem keyakinan dan atau yang berada dalam sistem keyakinan lain, jelas tidak akan merasakan sensasi tertentu selain pengaruh faktor alam. Tempat tersebut dalam pikirannya, adalah tempat biasa bukan sesuatu yang sakral. Jadi sistem syarafnya, tidak memberi stimulasi tertentu.

Muslim penganut agama Islam jelas hanya merasakan sensasi sebagai turis saat berkunjung ke Candi Borobudur. Dalam dunia pikirannya, tempat sakral/suci bukan di sana. Tapi di Arab, di Kabbah. Jadi saat mereka berhaji lah yang memungkin sensasi pengalaman spiritual. Bukan di Tibet, India, atau di daratan Eropa.

Sementara Kaum Nasrani akan mengalami sensasi pengalaman spiritual di tempat-tempat suci keagamaannya. Bukan di Kabbah, vihara, atau candi. Yahudi, hindu, kejawen, sunda wiwitan, dan ratusan bahkan ribuan aliran kepercayaan di dunia mempunyai tempat sakralnya masing-masing. Dan tempat yang ada dalam pikirannya sebagai sesuatu yang penting lah dimungkinkan sensasi spiritual bisa terjadi.

Apa yang ada dalam pikiran anda saat ini? Baiklah, saya akan memberi semacam kesimpulan. Bahwa, hakikatnya, tempat tetap lah tempat. Jika pun berbeda, pasti soal faktor alam saja. Yang membuat istimewa atau tidak adalah pikiran. Pikiran yang memutuskan bahwa itu tempat sakral dan ini bukan. Sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan kreatifitas pikiran itu sendiri. Ada permainan imaginasi dan fantasi yang tidak disadari.

Saat anda yakin toilet itu sakral, maka berkemungkinan besar sistem syaraf anda akan terstimulasi memberi sensasi. Saat anda berpikir puncak gunung mengandung kekuatan magis, maka sistem syaraf anda akan memunculkannya sensasi magis. Saat anda berpikir bahwa kuburan itu seram, maka sistem syaraf anda akan terstimulasi memunculkan sensasi menakutkan.

Melalui fakta ini, anda bisa mulai menyimpulkan esensi dari sensasi. Sensasi yang dimunculkan oleh sistem syaraf yang dirasakan oleh manusia seolah nyata.

Hakikatnya adalah; berbagai sensasi sendiri pun bagian dari produk pikiran. Terbentuk melalui proses hidup. Terbentuk dari serangkaian informasi data yang di konsumsi pikiran. Membentuk semacam aplikasi. Semacam perangkat lunak kalau dikomputer. Terekam dalam memori pikiran. Dalam hardisk berupa otak. Dalam bank data yang biasa disebut pikiran bawah sadar.

Delusi adalah sebuah kondisi dimana manusia menyatakan ada, sesuatu yang tidak ada. Dalam realitasnya, itu benar-benar ada. Sesuatu yang tidak ada seolah ada dinamakan halusinasi. Dan saat dipercayai sebagai realitas, maka itu lah namanya delusi.

Apa yang membuat halusinasi berujung delusi? Ini pertanyaan menariknya. Ya kan? Delusi itu adalah sebuah kondisi dimana manusia mempercayai penuh halusinasinya sebagai realitas/kebenaran.

Dan manusia yang berada dalam sistem keyakinan, cenderung mengalami halusinasi. Dan jika tidak memahami cara kerja pikiran dalam memunculkan sensasi, jelas akan berujung delusi.

Kenapa bisa? Karena pikiran selalu mencari bentuk. Jika tidak mendapat bentuk, maka secara otomatis pikiran akan bergerak liar memunculkan bentuk. Pikiran sangat kreatif dalam hal ini. Dimana tanpa disadari akan terpicu memunculkan imaginasi, fantasi hingga ide. Karakter dasar pikiran memang tidak bisa diam. Akan terus bergerak. Berpikir dan terus berpikir.

Dalam mengambil sebuah kesimpulan, pikiran pada dasarnya tidak menilai dari esensi. Melainkan melalui asumsi yang dipercayainya. Itulah kenapa sistem keyakinan dapat berkembang ditengah manusia.

Cukup membuat pikiran yakin! Maka realitas pun tidak bisa jadi bahan pertimbangan. Saat anda yakin pada sesuatu; maka realitas dan fakta yang seharusnya jadi bahan pertimbangan akan bernilai ‘nol’ atau tidak berlaku.

Secara psikologis, saat anda yakin pada sesuatu; maka kritikal area anda terbuka. Hal ini secara otomatis akan memicu sistem syaraf anda memunculkan sensasi, baik dalam bentuk rasa, visual atau suara.

Tidak ada persoalan sebenarnya, saat anda memahami bahwa berbagai sensasi dan halusinasi tersebut bukan sebuah realitas. Tapi, ketika anda menganggap hal ini sebuah kebenaran maka anda akan tenggelam dalam delusi. Anda akan tenggelam dalam produk pikiran anda sendiri.

Menjadi baik, jika delusi tersebut membawa anda ke arah positif. Merasa sebagai manusia yang bahagia. Merasa sebagai manusia yang beruntung dan bersyukur. Merasa sebagai manusia yang terberkati. Manusia yang bijaksana. Manusia yang berbudi luhur.

Jika sebaliknya, maka manusia akan bertumbuh sebagai sosok yang bermasalah. Baik pada diri sendiri maupun orang lain. Merasa paling suci, lalu menganggap yang lain kotor. Merasa sebagai umat pilihan dan yang lain harus dihilangkan. Merasa benar maka yang lain salah semua!!..

Halusinasi yang berujung delusi sangat dekat dengan konflik kemanusiaan. Sepanjang peradaban kehidupan manusia, ada begitu banyak peperangan yang disebutkan delusi kebenaran. Manusia akan tumbuh seperti monster yang menakutkan. Membunuh tanpa merasa berdosa hanya terjadi pada orang-orang delusi. Kenapa? Karena pada tahapan ini; anda tidak bisa membedakan mana produk pikiran liar, mana realitas. Dalam kehidupan anda semua sama.

Delusi itu sendiri, tidak melulu soal penampakan sosok ghaib/roh/atau sejenisnya. Tapi dapat juga terjadi pada hal-hal lain.

Baik lah, saya akan memberi penekanan tentang makna delusi. DELUSI adalah, sesuatu yang manusia yakini ada, meskipun sebenarnya tidak ada. “Delusi berisikan kebenaran yang terlupakan, ….. terdistrosi, disalahpahami,.. terpaksa percaya”; Sebuah keyakinan dari dalam. Dari bawah sadar!!..

Sebagai contoh; Seorang gadis yang ingin dicintai merasa orang yang sekedar memperhatikannya jatuh cinta padanya.

Seseorang sakit ringan yang ingin dikasihani, bisa percaya ia sakit keras. Atau seorang lelaki merasa semua wanita seperti ibu nya. Seseorang yang jarang mendapat perhatian bisa mengira semua orang peduli padanya.

Seseorang yang merasa suci, merasa bahwa yang lain kotor. Seseorang yang menghadapi kesulitan-kesulitan yang biasa, merasa seluruh dunia melawannya. Mereka merasa dimusuhi, diintimidasi, dikucilkan, disingkirkan, merasa begitu banyak musuh, dan lain sebagainya.

Kondisi ini; walau pun tidak jelas terlihat, adalah sakit jiwa yang sangat buruk. Baik bagi dirinya, maupun orang lain. Tekanan pikiran yang tidak sesuai dengan asumsi pikirannya, berpotensi membangkitkan bawah sadarnya untuk melakukan sesuatu. Seperti perlawanan yang tidak jelas arahnya.

Oh.. jika anda saat ini dalam sebuah sistem keyakinan dan berpikir bahwa anda benar, memang begitu yang dialami manusia delusi. Dan itu juga yang dirasakan oleh orang dalam sistem keyakinan lain.

Manusia yang terjebak dalam delusi bertumbuh dengan nilai-nilai ideal sesuai dengan alam pikirannya. Jika ada pertentangan atau perbedaan, maka yang berbeda akan dianggap salah. Dalam pikiran yang diyakininya, umat manusia ideal itu harus sesuai dengan pikirannya. Dalam kondisi tertentu akan menggila. Dimana ingin melihat dunia sesuai dengan nilai-nilai pikirannya. Bersambung….

__// Tulisan ini bagian dari buku Neurolism

Satu pemikiran pada “Sistem Keyakinan, Sensasi, Halusinasi dan Delusi”

Tinggalkan komentar