Melihat Suara Mendengar Gambar – Esref Armagan Sang Pelukis Buta

Esref Armagan belum pernah melihat cahaya, bayang-bayang, atau gunung. Baginya warna adalah sifat yg diberitahukan orang padanya dan dimiliki oleh benda-benda, dan perspektif adalah sesuatu yg ia pelajari dari percakapannya dengan teman-temannya.

Esref Armagan lahir di lingkungan miskin di Istanbul pada 1951. Ketika lahir, salah satu matanya tidak berkembang dan yang satunya lagi rusak, sehingga membuatnya buta fungsional. Lelaki yang dipanggil Armagan ini, tidak mendapat pendidikan formal, dan sekalipun ia mencoba bermain dengan anak-anak jalanan lainnya, kebutaan membuat ia tersisih. Kondisi ini kemudian membuat ia mencari kesenangan sendiri dengan caranya.

Ketika balita, Esref Armagan mulai membuat garis di tanah; dan pada usia enam tahun, ia mulai menggambar atau lebih tepatnya membuat coretan – dengan gambar pensil dan kertas.

Saat usianya menginjak remaja, Armagan mencoba cat minyak, dan akhirnya menjadi seniman profesional. Lukisan Armagan bukan merupakan coretan dan bentuk abstrak! Bukan pula bentuk geometri atau bentuk primitif yg datar. Ia melukis kincir angin dan naga terbang, pemandangan yg hidup dengan bayang-bayang dan perspektif tiga titik; jenis gambar yang anda pikir hanya mungkin digambar dengan cara melihat.

Akan tetapi, Armagan telah mengembangkan kompensasi yg unik atas kecacatannya. Dengan menggunakan tangkai kecil dari karet, ia menggambar garis yg dapat dirasakan sebagai tonjolan dan celah kecil. Jadi, ketika salah satu tangannya menggambar sebuah pemandangan, jemari dari tangan yg lain mengikuti, merasakan garis dan “melihat” gambar tersebut ketika dibuat. Untuk menggambar objek yg berada di kejauhan, ia mengandalkan perasaannya, sesuatu yg tampak ilmiah.

Ketika merasa puas dengan sketsanya, ia memindahkannya ke kanvas dan membubuhkan cat minyak dengan jemarinya; satu warna pada satu waktu sehingga warnanya tidak bercampur. Lalu, menunggu dua atau tiga hari agar warna biru mengering sebelum menambahkan warna hitam. Armagan telah mencapai kesuksesan yg lumayan di dunia seni.

Namun di dunia ilmu syaraf, ia adalah bintang yg sesungguhnya. Korteks visualnya, struktur di bagian belakang otak yg pada orang normal memproses sinyal dari mata, tidak pernah menerima pesan dari mata. Demikian asumsi dogma otak yg kaku; sebuah struktur yg secara genetis ditakdirkan untuk menangani sinyal visual seharusnya, dalam keadaan tak ada sinyal visual, menganggur seumur hidup. Namun, para ilmuwan yg mengeksplorasi neuroplastisitas punya gagasan lain.

Dalam neuroplastisitas, hampir semua sistem otak yg kita ketahui seperti; sistem penglihatan, sistem pendengaran, sistem perhatian, sistem bahasa, dll – dibentuk oleh pengalaman. Namun, kemampuan otak untuk berubah dengan pengalaman ini tidak monolitik (merujuk kpd suatu kesatuan yg besar dan sukar diubah). Sebagian hanya plastis untuk periode tertentu, sebagian lagi bisa berubah seumur hidup.

Hakikatnya, tak peduli di bagian mana sebuah neuron hidup. Baik di korteks visual maupun korteks somatosensorik, pada dasarnya neuron tersebut sama dengan neuron yg ada di bagian lain yg ada pada otak. Yang menjadi pertanyaan, mengapa ada satu kelompok neuron yg berfungsi untuk mendukung indera penglihatan dan kelompok neuron lainnya yg berfungsi untuk mendukung indera peraba atau indera pendengaran?

Bagaimana jika jenis input yg diterima otak itu penting dan sama pentingnya dengan instruksi yg diterima dari gen-nya?… Bagaimana jika fungsi khusus dari area berbeda dalam otak – yg notabene menjadi dasar bagi pemetaan otak dengan pelabelan “korteks visual” atau korteks auditori” secara resmi – sama sekali tidak kaku seperti kawat, entah oleh DNA atau hal lain? Bagaimana jika input lingkungan – atau lebih tepatnya pengalaman – yg membentuk perkembangan dan spesialisasi area dan sirkuit tertentu dalam otak?

Selain fungsi-fungsi dasar, sistem syaraf dalam otak berkembang krn adanya dorongan kebutuhan dan kehendak manusia itu sendiri. Dan dorongan tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan alam. Ini juga yg menjadi rahasia, manusia-manusia pada peradaban kuno yg tidak di dukung tehnologi canggih mengandalkan kemampuan dari sistem syarafnya untuk bertahan hidup. Dimana kemudian memungkinkan sistem syaraf seperti insting, intuisi, berkembang lebih baik dibandingkan manusia modern – yg segala sesuatunya sudah dimudahkan oleh alat.

Orang-orang yg secara fisik mengalami kebutaan, akan memicu sistem syarafnya untuk berkembang di area peraba seperti tangan. Sehingga memiliki tingkat sensitivitas untuk membaca huruf braille. Tangannya tumbuh bisa melihat. Sementara, orang-orang yg secara rutin melatih diri untuk kemampuan tertentu, maka secara otomatis memungkinkan adanya sekelompok neuron yg membentuk sebuah sistem syaraf baru. Manusia mungkin bisa melatih telinganya untuk melihat, ketika suatu saat matahari tidak bersinar lagi!

Tinggalkan komentar